Wednesday, 5 January 2011

salah aku dan bagaimana jawabannya #inspirasi bagusEka

Masalah agama..
Aku lahir di bali, papaku hindu, mamaku hindu KTP (hatinya ttep kekeuh sama islam).. Well, I just followed that hinduism.. Tp pendidikan aku berada di lingkungan kristen krena skolah kristen, dan dalam keseharian mama menyelipkan doktrin islam, di lain sisi aku buta akan hindu. Masuk SMP sampe SMA, aku baru blajar hindu krena skolah negeri. Mama tetap mendoktrinasikan islam kepadaku, dan menunjukkan kelemahan hindu (yang di bali). Well, aku akui byk yg bener, tp yg aku pelajari adalah itu kesalahan dr budaya dan adat istiadat bali yg mengaburkan intisari hindu. Well,pd dasarnya aku bukan org yg muda terprovokasi, kecuali dalam hal shopping. Jd aku ga serta merta memandang hindu itu salah dan islam paling benar. Walaupun aku lebih condong ke islam.

Masuk kuliah, masuk univ kristen, dimana doktrin kristen makin menerpa. Sebagai non-kristen aku disuguhkan mata kuliah perbandingan agama, agama-agama dunia, dan generalisasi dr agama dan manusia, namun tetap dengan sudut pandang kristen. Di sini aku belajar banyak sekali tentang agama, apa pun itu. Well, singkatnya, pola pikir yg terbentuk pada otakku sekarang adalah kenapa harus ada banyak sekali agama? Kenapa kita harus memilih agama? Kenapa tidak satu saja ada agama? Toh agama semuanya berintikan yg sama, for a better life of human being.. Bukankah dg banyaknya agama justru menciptakan pengkotak2an manusia? Pikiran ini selalu mengitari otakku.. Ingin sekali aku berkata 'I do believe in God, but not in religion', karena intinya adalah Tuhan..

Agak kontroversial sih ya bey, hahahah.. Tp ini bener2 bikin aku pusing. Klo ada yg nanya agamaku apa pengen bgt bilang, aku ga punya agama, tapi aku percaya Tuhan, sangat percaya, in every single way of worship, so I'm not atheist.. Gitu lah be, agak ribet jg, aku juga bingung hahah.. Kaya gitu deh pokoknya garis besarnya..

Benar, kritik itu perlu. Benar juga, kenyataannya tidak banyak orang berani dan mau mengkritik, karena resikonya tidak kecil. Kritik kita ke-mungkinan besar timbulkan ´marah´ orang yang kita kritik. Siapkah mengkritik? Tentu saja, kenapa tidak? Masyarakat yang tak bisa melakukan kritik sama saja mati dan bunuh diri. Artinya membiarkan penyakitnya merajalela tanpa mau mencoba melihat secara jernih dan mengobatinya. Kritik itu perlu dan harus dilakukan.
Agama pun seharusnya memposisikan dirinya sebagai pembanding realitas. Pembanding antara ´das Sein´ dan ´das Sollen´ (apa yang senyatanya dan apa yang seharusnya). Meskipun, agama sendiri tidak terlepas dari kemungkinan salah sebagai konsekuensi logis dari sisi kemanusiaan agama. Maksudnya agama dijalani dan dikembangkan oleh manusia yang tidak bebas salah. Tetapi di sisi lain, agama berusaha menunjukkan realitas yang lain, yaitu kehendak Sang Pencipta, yang menginginkan seluruh ciptaan-Nya baik adanya. Agama harus rendah hati tetapi seharusnya tetap memiliki keberanian melantunkan kritik. Karena memang itu fungsinya dalam masyarakat. Bukan ngotot dan menang sendiri loh ya … tapi maksudnya, agama harus bisa menyuarakan sesuatu yang berbeda. Agama memiliki fungsi kritik. Memang kenyataan sering membuktikan, bahwa agama justru melindungi ´status quo´ dengan menenangkan masyarakat agar patuh dan tidak mudah memberontak. Tetapi tema kita sekarang bukan bicara soal agama, melainkan masyarakat yang beragama yang seharusnya berani melakukan kritik. Ajaran agama seharusnya dipahami sedemikian rupa agar mengembangkan kekritisan pengikutnya, bukan dalam rangka ritual dan dogmatis saja, melainkan kritis dan peka terhadap kemanusiaan. Kritik terhadap sistim yang menindas dan menghasilkan kemiskinan.
Di sini ada dua kemungkinan yang harus dilakukan secara bersamaan, yaitu: bersuara (kritik verbal) dan atau menciptakan sistim baru tandingan (sesuai dengan idealismenya: kemanusiaan). Bukan menandingi secara ideologis militer angkat senjata. Bukan itu. Agama bukan berorientasi kekuasaan, melainkan kekuatan moral dan menjadi orientasi etis masyarakat. Apa artinya ritual dan liturgi jika kenyataan harian masyarakat semakin parah.
Kritik bisa dilakukan secara verbal jika memungkinkan. Artinya berhitung prosentase korban. Jangan sampai massa digerakkan oleh agama yang akhirnya justru mengorbankan mereka. Korban nyawa seharusnya tidak lagi menjadi agenda di tengah2 masyarakat yang menghargai Hak Asasi Manusia (HAM). Menyuarakan sebagai sebuah bentuk keprihatinan, suara moral, seruan pertobatan, dan tuntutan perubahan. Kritik jangan dilakukan secara anarkis karena justru akan mengaburkan makna kritik yang sedang dibawakan. Kritik disuarakan karena memang harus diperdengarkan. Tetapi kritik verbal sebenarnya tidak terlalu banyak bisa diharapkan. Karena kritik verbal akan mendapatkan respon balik secara verbal pula, yang tidak jarang itu sekedar bantahan dan mencari alasan pembenaran dari apa yang telah dilakukan. Oleh karenanya jangan hanya bersandar pada verbal melainkan pada siap nyata harian.
Jangan katakan kita tidak setuju dengan kapitalisme dan konsumerisme, kalo nyatanya sehari2 kita bergaya hidup borjuis. Banyak yang mengatakan anti kapitalis dan konsumeris, tapi nyatanya gedung2 tempat ibadah dibangun megah dan menggunakan bahan yang mahal dan gemerlap. Itulah kesalahan para pengikut agama dalam melakukan kritik. Mereka mengkritik sebatas verbal tetapi tidak diikuti dengan sikap dan tindakan nyata harian. Ajaran agama yang mengutamakan kerendahan hati, menahan diri, dan menghargai kemanusiaan, menjadi diabaikan begitu saja oleh mereka sendiri. Kritik membutuhkan konsistensi. Kritik terhadap penebangan hutan, tetapi kita sendiri menggunakan kertas yang berbahan baku pohon. Kita anti kekerasan, tetapi ketika ada tafsir yang berbeda dari orang lain tentang ajaran agama kita, kita marah sebesar2nya dan bahkan cenderung anarkis. Jika demikian agama sebagai fungsi kritis hanya akan menuai olokan dan ketidaksimpatian dari orang lain.
Oleh karenanya pada waktu melakukan fungsi kritisnya, agama juga perlu melakukan otokritik. Di sinilah agama tidak bicara sekedar dogmatik melainkan harus melakukan refleksi, perenungan mistik (non verbal/metafisis). Inilah kekuatan agama. Tetapi sayangnya, hal yang kedua ini justru tidak populer. Orang beragama hanya seperti mengenakan baju. Bukan seperti orang minum obat yang mendapatkan khasiat obatnya secara mujarab. Orang hanya melihat agama sebagai baju dan atribut, sehingga mudah tersinggung ketika melihat atribut lain yang berbeda. Jika cara beragama kita masih dangkal demikian, bagaimana kita bisa melakukan kritik untuk perbaikan masyarakat? Bagaimana masyarakat ini bisa disembuhkan? Bagaimana Indonesia bisa sejahtera dan beradab?
Tidakkah kita berpikir, seharusnya Indonesia yang katanya seluruh penduduknya beragama dan berkepercayaan sudah sejahtera dari dulu jika kita konsisten dengan nilai2 dasar agama kita masing2. Konon tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Tetapi kenapa justru banyak kritik yang disampaikan anarkis? Ini bukan saja terjadi sekarang. Sejak awal mula agama ada, begitulah manusia. Menafsirkan nilai2 dasar agama seenak perutnya sendiri. Tidak memperhatikan konteks dan maksudnya secara luas dan dalam. Membaca satu rumusan dalam teks keagamaan, lalu dilakukan secara harafiah tanpa dikaitkan dengan teks2 lainnya dalam kitab yang sama. Kesalahpahaman tafsir masih jadi kendala utama agama dalam melakukan fungsinya sebagai fungsi kritik bagi masyarakat. Lelah memikirkan ini semua …. agama justru menjadi alasan bagi bencana. bukan salah siapa2 kecuali si manusia yang mengaku beragama, karena memahaminya sebatas pikirannya sendiri. Agama hanya dipakai sebagai landasan mengkritik yang lain bukan mengkritik diri sendiri. Ini kesalahan utama dalam beragama. Ini sebenarnya penodaan agama yang sejak lama telah dilakukan oleh setiap manusia dalam beragama, yaitu ketika ia tidak konsisten secara etis atas apa yang disuarakannya.  Ketidakkonsistenan itulah kunci kegagalan agama dalam melakukan fungsi kritik. Bahkan seringkali agama dipakai sebagai baju untuk melindungi penyakit2 sosial: kemarahan, mau menang sendiri, malas berpikir – mau gampangnya dan melarikan diri dari kenyataan, serta mempertahankan mentalitas yang korup. Payah deh. ….
Agama diturunkan / diawali dengan tujuan untuk menjawab keprihatinan. Tetapi dalam kenyataannya karena manusianya yang dominan, justru agama menjadi bagian dari keprihatinan itu sendiri. Susah deh kalo udah gini.
Jangan teriak2 atas nama agama, karena itu belom tentu agama. Mungkin kita saja yang mengatasnamakannya. Agama tidak tergantung pada para pemimpin agama, melainkan agama tergantung pada nurani semua manusia. Nurani yang membawa kepada pengenalan akan sifat2 Sang Pencipta yang Maha Baik, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Suci, Maha Pemurah ….
Jika agama mau difungsikan sebagai kritik bagi masyarakat yang sedang sakit (seperti Indonesia saat ini), maka janganlah kita kaitkan agama dengan kritik yang anarkis – apapun alasannya. Kritik agama adalah kritik perubahan moral dan etis. Kritik yang dilakukan secara sungguh2 dengan menunjukkan realitas pembanding yang diidealkan. Jangan katakan anti ini anti itu, nggak mau ini nggak mau itu, nggak boleh ini nggak boleh itu … tapi lakukan sesuatu yang membawa terang …. maka gelap dengan sendirinya akan pergi. Curahkan selalu kejernihan maka yang kotor akan tersisihkan.

No comments:

Post a Comment