Friday 9 March 2012

Sikap Apologetik Umat Islam


Tulisan ini terinspirasi dari berbagai diskusi dan debat wacana agama yang saya ikuti di berbagai forum online di dunia maya. Mulai di Kompasiana, Tempo, VivaNews, Kaskus , blogernas grup dan berapa forum lain di Facebook.

Apa inti persoalan yang ingin saya lemparkan?

Yaitu tentang apologi.
Tentang sikap umat Islam yang mabuk membenarkan diri.
Sikap pembenaran yang mereka lakukan atas Islam ketika terjadi diskusi tentang agama.

Bagi saya, diskusi dan debat agama adalah medan tarung antar gagasan. Gagasan seputar problem keagamaan. Siapapun pesertanya. Tanpa rasa risih, jaim apalagi sikap curang dan bertele-tele. Karena dengan sikap bebas dan sportiflah sebuah diskusi agama akan ada hasilnya. Terlepas apakah sebuah agama yang diyakini akan menjadi sorotan kritis dari forum diskusi. Tapi tetap visinya adalah dalam rangka ekpslorasi pemahaman. Menguliti berbagai problem agama secara jujur apa adanya. Tanpa pretensi tanpa prasangka selama proses berlangsung. Semuanya berangkat dengan sikap telanjang bebas. Tanpa pemihakan apalagi pembenaran, meskipun terhadap agama sendiri. Sehingga hasil akhirnya, semua peserta mendapatkan refleksi kritis yang mencerahkan, untuk kemudian bisa diterapkan pada sikap dan keyakinan masing-masing, agar penghayatannya atas agama masing-masing bisa menukik lebih dalam. Ataupun justru terinspiasri untuk sebuah penjelajahan spiritual yang baru.

Karena itu dalam konteks diskusi agama, iman harus disimpan dalam kantong. Yang disajikan di meja diskusi adalah data dan penalaran. Bukan keyakinan. Ini bukan berarti bahwa keyakinan dilucuti. Tapi disimpan sejenak di ruang kesunyian masing-masing agar roda diskusi bisa bebas lancar menggelinding kemana diskusi akan mengalir, mencari tempatnya yang paling meyakinkan. Dan mencerahkan bagi semua pihak. Tanpa sikap ini, maka diskusi bisa menjadi macet. Bahkan kacau. Dan tidak jarang menjadi ajang saling hujat dan caci maki.

Diskusi kritis agama, bagi saya ibarat melewati jembatan penyeberangan yang menantang. Mendebarkan, tapi sekaligus mencerahkan bila berhasil melewatinya dengan sungguh-sungguh.

Tapi apa yang saya saksikan di lapangan maya?
Rata-rata umat Islam (bukan semuanya), belum kompeten untuk bergumul dalam forum diskusi.

Apa sebab?
Tampaknya mereka manjadikan forum bukan untuk diskusi. Tapi sebagai corong promosi. Promosi bahwa agama Islam dengan segala perangkatnya adalah kebenaran absolut yang bergaransi dari Tuhan. Sehingga yang mereka kemukakan bukan pendalaman materi kritis tentang topik yang dibahas. Bukan mengeskplor apa yang menjadi objek kajian.

Apalagi jika yang menjadi topik adalah agama Islam sendiri. Misalnya tentang Alquran dan Muhammad. Bukannya mencoba memahami sudut pandang lawan diskusi ketika ada kritik atas kedua hal itu, tapi justru mereka siap siaga melemparkan peluru pembelaan. Dengan mengumpulkan alibi (mereka menyebutnya bukti) agar klaim kebenaran mereka diakui oleh forum.

Saat menghadapi kritik, mereka mirip seorang yang ditimpa banjir besar. Mereka berusaha menjangkau apa saja disekitarnya, mulai dari rumput, batu, tonggak, bahkan pucuk-pucuk dedaunan agar tubuhnya tidak dihanyutkan oleh arus air, walaupun akhirnya mereka juga hanyut digulung air bah.

Artinya, mereka cendrung berlari kesana kemari.
Terhuyung-huyung berlindung dibalik perisai demi perisai sejauh yang bisa mereka jangkau.

Ketika dikritik bahwa ayat-ayat Alquran primitif, maka mereka mengutip ayat-ayat yang mengutuk sikap orang-orang yang tidak mempercayai Alquran sebagai firman asli dari Tuhan yang patut diyakini. Ketika dikritik bahwa Islam adalah agama kekerasan, mereka mengutip ayat-ayat yang menyatakan bahwa Islam bukan agama yang mengajarkan kekerasan. Tapi giliran ditunjukkan ayat-ayat yang memang sengaja menghasut agar menaruh kebencian pada umat agama lain, mereka mengatakan bahwa ayat tersebut harus dipahami secara komprehensif dan kontekstual. Tidak bisa dipahami secara harfiah, meskipun faktanya, ayat itu bukan mutasyabihat (konotatif). Tapi adalah ayat yang mukhamat (harfiah), yang sama sekali tidak memerlukan tafsir.

Ketika dikemukakan fakta bahwa berbagai aksi anarkis dan terror yang dilakukan umat Islam di gelanggang sosial, mereka buru-buru mengatakan bahwa agama lain juga melakukan hal yang sama dengan lebih parah lagi.

Ketika dikatakan bahwa sumbangsih umat Islam pada kemajuan peradaban dunia tidak signifikan, maka mereka buru-buru mengutip tokoh-tokoh Islam disepanjang sejarah. Mereka mengutip Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Batutah, Al Biruni, Al Jabar, Rumi, M. Iqbal dan sebagainya. Mereka bernostalgia bahwa begitu besar jasa Islam pada dunia. Tapi dunia telah melupakannya.

Tapi itu jika mereka berdiskusi dengan umat beragama yang berbeda. Mereka ingin menegaskan bahwa Islam juga agama yang hebat secara Ilmu Pengetahuan. Tapi ketika mereka diskusi dengan sesama umat Islam, justru tokoh-tokoh yang semula mereka kutip sebagai perisai dari kritik umat agama lain, terutama ketika mengkaji soal Tauhid dan Syariat Islam, maka tokoh-tokoh sains dan Filosof Islam itu justru berbalik mereka kafirkan dengan mengutip Al Ghazali, Ibnu Taymiah, Said Qutub, Hasan Al Banna, Nashiruddin Albani dan seterusnya.

Singkatnya, sejauh yang saya cermati di berbagai forum online, mereka tidak konsisten. Tidak punya mindset yang mendasar. Dalam bahasa Filsafat, mereka cacat epistemologis.

Kenapa?
Karena mereka masuk gelanggang diskusi bukan untuk sebuah petualangan, dengan semangat mencari pemahaman yang lebih tajam dan meyakinkan. Tapi mereka membawa semangat tempur untuk mencari kemenangan. Paling tidak mencari pengakuan. Pengakuan bahwa Islam, Muhammad dan Alquran memang benar. Inilah sikap apologetis. Sikap pembenaran.

Dan mereka seperti penderita bisul yang meraung ketika Islam menjadi sorotan kritis.
Padahal, jika mereka membaca sejarah, justru peradaban Islam di gelanggang diskurus agama pesat berkembang ketika Islam bersentuhan dengan kebudayaan lain, dengan pemikiran lain. Bahkan ketika menghadapi kritik dari pihak lain, seperti yang terjadi pada kaum Mutakallimun semisal Mu’tazillah dan Asyariyyah yang terkenal rasional dan cerdas dalam diskusi soal tauhid. Mereka sengaja mendalami ilmu manthiq (logika) demi untuk menghadapi serangan pihak lain yang kritis dan tidak bisa dibalas dengan hanya mengutip ayat-ayat Alquran, tapi perlu diimbangi dengan penalaran yang menyakinkan.

Lalu apa yang terjadi kemudian?
Siapapun yang melacak sejarah Islam, terutama berkenaan soal Tauhid dan Filsafat Islam, nyaris tidak bisa mengelak dari membaca sejarah Mu’tazillah dan Asyariyyah. Apalagi mengelak dari Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Al Ghazali. Dan itu menjadi inventaris kebudayaan dalam sejarah Islam, yang selalu dibanggakan umat Islam hingga hari ini.

Nah, bukankah sikap mereka itu sangat seksi?
Menggelitik kesadaran bahwa beragama, terutama dalam konteks tulisan ini yaitu ketika diskusi agama, tidak melulu hanya main kutip ayat Alquran, atau bernostalgia mencari alibi kesana-kemari? Apalagi dengan mengamuk histeris?

Bukankah menjadi pencerah atas sebuah konflik wacana itu jauh lebih nikmat ketimbang menjadi seorang pembela dengan cara membabi buta?

Tapi perlu saya garisbawahi.
Semua ini adalah hasil pengamatan saya pribadi.
Saya pikir anda tidak perlu marah-marah,
karena saya tidak akan mengancam anda berdosa jika anda tidak setuju.

So, apa yang anda pikirkan?

Saturday 21 January 2012

agama dan pilihan

Disatu sudut pandang saya setuju atas teori yang dikemukakan oleh Karl Marx. Bahwa agama hanyalah tempat pelarian dari permasalahan hidup. Ketika seseorang mengalami banyak masalah seperti kemiskinan, ketidakberdayaan, kesengsaraan, maka dia akan mencari suatu kekuatan yang dianggapnya dapat menolongnya dari permasalahan hidupnya. Kekuatan tersebut dipercaya dapat membantunya memberikan solusi atas masalah yang dihadapi. Demikian anggapan yang ada pada sebagian masyarakat. Agama memang pantas disebut sebagai candu masyarakat karena seperti candu, ia memberikan harapan-harapan semu, dapat membantu orang untuk sementara waktu melupakan masalah kenyataan hidupnya. Seorang yang sedang terbius oleh candu dengan sendirinya akan lupa dengan diri dan masalah yang sedang dihadapinya. Ketika orang sedang masuk dalam penderitaan yang dibutuhkan tidak lain adalah candu yang dapat membantu melupakan segala penderitaan hidup, bahwa hanya sesaat saja. Dalam konteks ini orang memang membutuhkan ilusi-ilusi untuk meringankan penderitaan dalam dunia nyata. Agama berkembang karena diwartakan oleh masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh masyarakat yang didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan itu. Agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda agama yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dipandang oleh Marx sebagai sikap meracuni masyarakat.
Tetapi disudut pandang lainnya saya tidak setuju. Karena agama bukanlah tentang Tuhan yang secara sewenang-wenang menyuruh manusia untuk patuh dan taat kepada-Nya, namun tentang pulihnya kesadaran. Dalam diri manusia akan perjalanan hidupnya, dari makhluk yang terperangkap dalam batas-batas ruang dan waktu menjadi yang mensemesta.Pola pemaknaan agama yang terlalu teosentris akan menjadikan Tuhan itu terasa sebagai Tuhan yang harus dipatuhi dan ditaati. Misi agama adalah tentang bagaimana manusia mengisi atau membentuk eksistensinya secara konkret di alam raya ini.
“Religion has its genesis in the essential difference between man and the animal. The animals have no religion”. Jawaban yang paling umum dan paling berhubungan dengan pernyataan ini adalah kesadaran. Menurut kesadaran adalah kesanggupan untuk merenungkan cara bereksistensinya, modus kehidupannya. Dan kesanggupan itu berarti bahwa manusia bisa bertanggung jawab atas  pembentukan caranya  bereksistensi, caranya menjalani hidup. Manakala kesadaran itu sedemikian terbatas, dan karena keterbatasannya itu berwatak tegas dan tepat, yang sedang kita bicarakan itu sebenarnya bukanlah kesadaran, namun naluri

Sunday 20 November 2011

"penis" suamiku mencitai "dia"

Ingatanku masih terasa jelas pada hari kedua dari aksi diamku. Aku semakin muak dengan diriku sendiri. Sesekali berpikir menusuk perutku dengan pisau dapur. Kecil dan tidak cukup tajam untuk merobek tubuhku yg kurus. Pasti terasa sangat memilukan. Seandainya aku punya pisau yang jauh lebih tajam dan besar.
Akal sehat datang menjenguk pada saat aku mulai bosan berbaring di tempat tidurku. Dia bilang: “Kamu menyia-nyiakan hidupmu”. Tahu apa dia soal hidup? Walaupun sedang tertekan seperti saat ini, aku masih paham bagaimana menghargai kehidupan. Buktinya, sampai detik ini aku masih menghitung-hitung kira-kira apa saja resiko dari aksi diamku kalau aku melakukannya sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Sedangkan si Akal Sehat yang katanya bijaksana itu malah cuma duduk termangu melihat aksiku semakin jauh meninggalkan realita.
Aku tutup semua cara yang mungkin bisa dipakai suamiku untuk menghubungiku. Terbayang betapa hancurnya hati suamiku menyadari istrinya tidak mau dihubungi dan memutuskan untuk hidup dalam dunianya sendiri. Terbayang sesak nafasnya akibat asam lambung yang kumat karena stress memikirkan kelakuan istrinya yang melankolis. Tapi ini semua sudah terlanjur terjadi. Tekadku untuk mendiamkan suamiku lebih kuat dari kerinduanku kepadanya. “Dia tidak pernah rindu padaku”, bisik si Melankolis. “Dia sangat-sangat peduli padamu”, si Akal Sehat tidak mau kalah. Seingatku suamiku yang menyebabkan ini semua.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku ingat hari pertama pernikahan kami. Aku dengan lingerie hijau toska meringkuk di ranjang pengantin sedemikian rupa sehingga terlihat menggoda. Bulu-bulu halus di tubuhku sudah aku babat habis supaya tidak lagi menjadi penghalang antara kulitku dan kulit suamiku. Sepuluh menit..dua puluh menit..tiga puluh menit..suamiku tak kunjung keluar dari kamar mandi. Akhirnya pada malam pertama yang sakral itu aku malah tertidur pulas dengan posisi yang jauh dari kesan menggoda.
Aku juga ingat pada minggu pertama pernikahan kami. Kami tidak berbulan madu seperti layaknya pasangan suami istri yang baru menikah. Sehari setelah menikah, suamiku berangkat ke kantor seperti biasa. Alasannya, urusan kantor sedang sibuk-sibuknya dan tidak bisa ditinggal. Sedangkan aku sudah resmi menjadi 100% Ibu Rumah Tangga. Meninggalkan karirku adalah sesuatu yang berat bagiku, tapi permintaan suamiku sebelum kami menikah terpaksa aku iyakan. Saat itu anganku dibawanya tinggi. Empat orang anak, sebuah rumah besar dengan halaman luas, mobil, dan uang belanja yang jauh lebih besar dari gajiku. Alasanku untuk terus berkarir seperti menguap begitu saja.
Setiap hari aku menjalankan peranku sebagai istri dengan sempurna. Bangun lebih awal dari suamiku, menyiapkan sarapan dan keperluannya ke kantor. Selalu menjaga kerapihan rumah karena suamiku akan marah-marah kalau melihat rumah kami berantakan. Menyiapkan makan malam sebelum suamiku pulang dari kantor. Hal terakhir yang tidak boleh terlupakan, untuk tampil rapih dan wangi saat menyambut suamiku pulang. Wajahnya akan berubah ketus kalau melihatku dengan daster dan wajah berminyak dan mencium bau keringatku. Dalam minggu pertama, aku sudah hapal dengan ritualku sehari-hari.
Suamiku seringnya pulang jam sembilan malam. Setelah makan malam, biasanya suamiku akan berselonjor di sofa di depan TV. Sedangkan aku menunggu dengan cemas apakah malam ini akan berlalu seperti malam-malam sebelumnya. Jam sebelas..jam dua belas..aku sudah mulai mengantuk. Aku menunggunya di kamar tidur kami, mencoba tetap terjaga. Tapi selalu gagal, sehingga saat aku terbangun aku sadar aku sudah melewatkan lagi kesempatan ‘malam pertama’ kami yang sudah tertunda selama hampir seminggu. Pada malam keenam, aku berhasil melawan rasa kantuk sampai akhirnya suamiku masuk ke kamar kami. Jam satu malam. Aku ingat suamiku berusaha menyembunyikan keterkejutannya saat mengetahui bahwa aku belum tertidur. Aku sudah berancang-ancang dengan posisi menggoda andalanku. Tapi tanpa menoleh sedikit pun suamiku beranjak ke kamar kerjanya, “Ada tugas kantor yang harus diselesaikan”. Gagal lagi.
Masih juga bisa kuingat bulan pertama pernikahan kami. Aku semakin mengenal watak suamiku. Dia tidak suka perhatianku yang melimpah. Dia seperti tidak ikhlas saat menerima kecupan mesraku mengantar kepergiannya ke kantor. Kalau aku bertanya jam berapa dia akan pulang, jawabannya hanya senyum ketus. Sejak kejadian malam keenam, suamiku pulang lebih larut malam dan tidak menentu. Kadang-kadang jam sepuluh malam, sering juga sampai tengah malam. Dia juga lebih suka menghabiskan akhir pekan di luar rumah. Beberapa kali dia mengajakku berlibur ke tempat-tempat wisata, menginap di hotel-hotel mewah, makan di restoran-restoran mahal, namun selalu diakhiri dengan malam di ranjang yang dingin. Tidak jarang dia membanjiriku dengan pujian di depan teman-temanku, teman-temannya, dan kerabat famili kami. Tidak sedikit hadiah-hadiah kejutan yang dia belikan untukku. Namun tidak satu pun dari semua itu yang kemudian membawa kami pada malam yang indah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada bulan keenam pernikahan kami, aku dan suamiku bertengkar mulut untuk pertama kalinya. Mungkin wanita lain akan lebih cepat bereaksi ketimbang aku yang terlalu berhati-hati menjaga perasaan suami. Aku timbang-timbang, inilah timing yang tepat untuk mengutarakan isi hatiku. Enam bulan sudah sangat cukup untuk membuktikan aku istri yang penyabar dan pengertian. Malam itu, persis setengah tahun pernikahan kami. Aku berusaha bicara seringan mungkin saat kami sedang makan malam. Bahwa tidak terasa sudah enam bulan kami hidup bersama. Bahwa begitu cepat hari berganti hari, bulan berganti bulan. Suamiku hanya mengangguk-angguk sambil terus menikmati makanannya. Tak lagi peduli dengan harga diriku, sekonyong-konyong aku melontarkan pertanyaan yang selama ini mengendap di benakku, “ Apa Mas tidak tertarik untuk berhubungan seks denganku?”. Seketika itu juga suamiku yang tadinya tidak mengacuhkan arah pembicaraanku, menghujamkan tatapannya yang merendahkan ke wajahku. Tak lagi berselera dengan santapan malam itu, sama sekali tidak berusaha untuk menjawab pertanyaanku, suamiku bangkit berdiri dan seperti tidak jelas dengan apa yang mau dilakukannya. Aku sudah terlanjur mengangkat masalah ini ke permukaan, maka aku bertekad tidak akan membiarkan ketidakjelasan ini terus berlanjut. Kuikuti suamiku yang berusaha menghindar menuju ke kamar kerjanya.
“Apa Mas tidak pernah berpikir bahwa suatu saat aku akan menanyakan hal ini?”
“Apa Mas hanya menganggap aku sebagai Pembantu Rumah Tangga saja, yang hanya berfungsi untuk mengurus rumah, keperluan Mas sehari-hari, tapi tidak lebih dari itu?”
“Apa Mas menikahiku hanya untuk mendapatkan status saja, sebagai seorang suami?”
Tamparan tajam mendarat di pipi kananku. Aku jatuh terduduk, bukan karena kerasnya pukulan barusan, tapi karena energi yang sebelumnya begitu besar tiba-tiba habis tersedot oleh amarahku sendiri. Melihatku sudah tak berdaya, suamiku mengeluarkan serangan balik.
“Lantas kamu maunya apa, hah?”
“Kamu pikir aku gak mampu melayanimu di ranjang, hah?”
“Apa diotakmu yang namanya pernikahan hanya sebatas seks saja, hah?”
Aku hanya bisa terisak-isak tetap duduk di lantai tempat aku terjatuh. Entah setan apa yang merasuki suamiku, saat itu dia menarik aku berdiri. Menyeretku ke kamar tidur kami. Mendorongku jatuh ke ranjang.
“Buka bajumu! Atau perlu aku yang membukakan?!”, gertakan suamiku keras dan mengerikan. Dalam satu gerakan dia sudah menelanjangi dirinya sendiri. Sedangkan aku hanya bisa terpaku, tidak menentu apa yang harus kulakukan. Haruskah aku membuka bajuku dan melayani suamiku seperti yang aku inginkan selama ini? Tamparan tadi, gertakan suamiku, dan kemarahanku menahan keinginanku untuk menjalan tugasku sebagai seorang istri yang patuh dan berbakti. “Aku tidak mau melakukannya dengan terpaksa seperti ini”. Malam itu kami tidur di kamar yang berbeda.
Seminggu setelah kejadian itu, amarah kami mulai mereda. Hari-hari berjalan seperti biasa. Aku tetap menjalankan tugasku mengurus keperluan rumah tangga walaupun dalam diam. Tidak ada sapaan hangat atau kecupan mesra saat suamiku berangkat maupun pulang kerja. Aku menjalani semua itu dengan ketidakyakinan akan masa depan kami. Apakah akan datang saatnya dimana rumah ini tidak hanya dihuni oleh kami berdua? Sampai kapan kami bisa bertahan sebagai suami istri seperti ini? Apakah kami bahagia?
Tepatnya dua minggu setelah pertengkaran kami, suamiku masuk ke kamar tidur lebih awal. Aku baru saja bersiap-siap tidur. Suamiku tidak mematikan lampu kamar seperti biasanya, malahan menyetel lagu lembut dari DVD player di kamar kami. Aku terus mengikuti gerak-geriknya, sampai tiba-tiba ciuman mesra mendarat di pipiku. Diteruskan ke bibirku, ke leherku. Aku ingat aku kaku seperti mayat saat itu, hanya mengikuti kehendak suamiku. ‘Malam pertama’ kami akhirnya terlaksana dengan penuh tanda tanya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak malam itu, aku seperti gadis perawan yang sedang jatuh cinta. Aku tersipu-sipu jika bertatapan mata dengan suamiku. Aku semakin perhatian terhadap suamiku, yang ditanggapi acuh tak acuh seperti biasa. Aku gelisah jika suamiku pulang terlambat, dan sama gelisahnya ketika suamiku pulang lebih awal. Aku rela menunggu sambil terkantuk-kantuk di tempat tidur, walaupun seringkali kecewa saat suamiku memilih untuk langsung tidur.
Aku tidak pernah mengharapkan hubungan seks yang liar. Aku perempuan Asia dari keluarga kolot yang selalu diajarkan untuk bersikap pasif di depan suami. Suamiku dengan wataknya yang dingin selalu menjalankan ritual keintiman kami dengan fase-fase yang monoton. Foreplay secukupnya, membiarkan aku mencapai orgasme lebih dulu, kemudian menyudahinya tanpa pernah membiarkan dirinya terpuaskan. Awalnya aku pikir wajar saja. Tapi setelah berlangsung bulan demi bulan, aku mulai bertanya-tanya kembali. Apakah ini sekedar upaya suamiku agar aku tidak lagi protes? Lalu untuk apa semua ini? Untuk apa menjalani rumah tangga seperti ini? Tidakkah suamiku menginginkan buah hati seperti yang pernah dikatakannya dulu saat melamarku?
Lalu pada malam tahun pertama pernikahan kami, malam yang seharusnya membahagiakan bagi pasangan muda, kami bertengkar untuk yang kedua kalinya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak pertengkaran hebat malam itu, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah kami. Malam itu juga aku pergi meninggalkan suamiku. Meninggalkan adat yang mengharuskan istri patuh kepada suami. Meninggalkan harapan-harapanku terkubur di rumah itu. Bagiku sudah tidak jelas lagi gambaran seorang istri yang berbakti.
Sejak saat itu pula, aku tinggal di rumah peninggalan orangtuaku yang sudah lama kosong. Sejak ibuku meninggal lima tahun yang lalu, aku meninggalkan rumah ini kosong dengan meminta bantuan seorang kerabat untuk menengoknya sesekali. Sedangkan aku tinggal di rumah pamanku bersama istrinya dan anak-anak mereka di kota lain dimana aku melanjutkan pendidikanku sampai mendapat gelar sarjana. Di kota ini pula aku berkenalan dengan suamiku, seorang teman dari temanku. Tampan, berpendidikan baik, berkedudukan tinggi di kantornya, dan berasal dari keluarga yang terhormat. Usianya 35 tahun saat berkenalan denganku, sedangkan aku baru 25 tahun. Hanya dalam waktu dua bulan, dia sudah mulai menyatakan keseriusannya denganku. Keluarga pamanku sangat mendukung hubunganku dengannya yang terlihat begitu santun di depan mereka. Sedangkan keluarga suamiku tidak segan-segan langsung meminta persetujuan pamanku sebagai waliku untuk menikahiku dengan anak kesayangan mereka. Saat itu aku tidak menyempatkan diriku bertanya ke dalam hatiku sendiri, apakah aku mau menikahinya karena mencintainya, ataukah hanya karena kelebihan-kelebihannya? Semua berjalan begitu cepat, sampai-sampai aku pun terlupa menanyakan satu pertanyaan yang paling penting, “Apakah dia mencintaiku?”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku masih ingat minggu pertama sejak aku meninggalkan rumah suamiku. Aku hanya tinggal sendirian. Tidak ada yang tahu aku tinggal di sini, bahkan keluarga pamanku. Kepada kerabat yang biasanya datang membersihkan rumah ini kukatakan aku sedang berlibur beberapa minggu. Aku benar-benar mengucilkan diriku sendiri. Tidak keluar rumah sama sekali. Makan seadanya. Tidak mandi, tidak juga mengganti pakaianku. Kerjaanku hanya meringkuk di tempat tidur, kemudian tertidur beberapa jam, terbangun, kemudian tertidur lagi. Entah apa yang ada dipikiranku. Kadang-kadang aku berpikir tentang betapa bencinya aku pada suamiku, terkadang merasa kasihan terhadapnya. Tapi pernahkah ia merasa kasihan terhadapku?
Aku juga masih bisa ingat minggu-minggu berikutnya dari kehidupan nerakaku. Pikiranku semakin tidak karuan. Aku semakin tidak mengenal waktu. Kapan Senin, kapan Minggu. Kapan pagi, kapan siang. Pernahkah suamiku berusaha menghubungiku? Mencariku ke rumah ini? Patutkah aku meneleponnya? Dimana handphone-ku? Ruang sudah tak jelas juga bagiku.
Apakah suamiku masih peduli denganku? Apakah dia pernah mencintaiku? Apakah aku pernah mencintainya? Kenapa aku merindukannya tapi juga membencinya? Aku menangis, tapi anehnya aku juga tertawa-tawa. Apa yang salah denganku?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Entah sudah minggu keberapa sejak malam itu, saat aku menyaksikan kejadian yang membawaku ke dalam penderitaan ini. Malam itu, malam tahun pertama pernikahan kami. Aku bermaksud membuat kejutan untuk suamiku di kantornya. Berbekal kue tart buatanku, dengan dandanan sedikit istimewa, aku nekat datang ke kantornya yang mungkin justru akan membuat suamiku jengkel. Aku lihat sekretarisnya, seorang pemuda yang tampan dan seumuran denganku, sedang tidak di mejanya. Mungkin dia sedang di dalam ruangan suamiku untuk mendiskusikan sesuatu. Apakah sebaiknya aku menunggu? Ah, biar saja. Aku kan bermaksud memberikan kejutan.
Tapi kejutan itu ternyata bukan untuk suamiku, melainkan untukku. Di ruangan itu, di hari istimewa itu, aku melihat suamiku dan sekretarisnya yang tampan itu sedang hanyut dalam ciuman yang begitu panas. Apakah aku bermimpi? Suamiku sedang menikmati percintaannya dengan kekasih gelapnya selama ini. Bukankah ini cuma sekedar cerita murahan di novel-novel yang suka aku baca? Tapi kenapa hal ini bisa terjadi padaku? Suamiku seorang gay. Suamiku lebih mencintai lelaki itu daripada istrinya sendiri, aku. Aku..aku..sudah tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Apakah itu hanya mimpiku saja? Aku berharap itu hanya mimpi saja. Tapi bukankah aku seharusnya di rumah suamiku saat ini menjalankan tugasku sebagai seorang istri. Tapi kenapa aku di ruangan sempit dan serba putih ini dengan tangan terikat membalut tubuhku?

kupu-kupu di ujung benih

Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.

Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.

"Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya."

Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.

"Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar."

Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.

Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.

Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana, Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.

Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".

Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.

"Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.

"Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.

Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.

"Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir."

Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.

Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.

Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.

Friday 18 November 2011

perjalanan panjang sang TUHAN

Babylonian Creational Myths - Enuma Elish
Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai. Perlahan- lahan dia memudar dari kesadaran umatnya. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga mereka memutuskan bahwa mereka tidak lagi menginginkannya. Pada akhirnya dia dikatakan telah menghilang.
Begitulah, setidaknya menurut satu teori, yang dipopulerkan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, yang pertama kali terbit pada 1912. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyemba h banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Tertinggi (kadang- kadan g disebut Tuhan Langit, karena dia diasosiasikan dengan ketinggian) masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi Afrika. Mereka mengungkapka n kerinduan kepada Tuhan melalui doa; percaya bahwa dia mengawasi mereka dan akan menghukum setiap dosa. Namun demikian, dia anehnya tidak hadir dalam kehidupan keseharian mereka; tidak ada kultus khusus untuknya dan dia tidak pernah tampil dalam penggambaran.
Warga suku itu mengatakan bahwa dia tidak bisa diekspresikan dan tidak dapat dicemari oleh dunia manusia. Sebagian orang bahkan mengatakan dia telah “pergi”. Para antropolog berasumsi bahwa Tuhan ini telah menjadi begitu jauh dan mulia sehingga dia sebenarnya telah digantikan oleh ruh yang lebih rendah dan tuhan-tuhan yang lebih mudah dijangkau. Begitu pula, menurut teori Schmidt selanjutnya, di zaman kuno, Tuhan Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan kuil pagan yang lebih menarik. Pada mulanya, dengan demikian, hanya ada satu Tuhan. Jika demi- kian, monoteisme merupakan salah satu ide tertua yang dikembang- kan manusia untuk menjelaskan misteri dan tragedi kehidupan. Ini juga menunjukkan beberapa masalah yang mungkin akan dihadapi oleh ketuhanan semacam itu.
.
Adalah mustahil untuk membuktikan hal ini dengan cara apa pun. Telah banyak teori tentang asal usul agama. Namun, tampaknya menciptakan tuhan-tuhan telah sejak lama dilakukan oleh umat manusia. Ketika satu ide keagamaan tidak lagi efektif, maka ia segera akan diganti. Ide-ide ini diam-diam sirna, seperti ide tentang Tuhan Langit, tanpa menimbulkan banyak kegaduhan . Dalam era kita sekarang ini, banyak orang akan mengatakan bahwa Tuhan yang telah disembah berabad-abad oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam telah menjadi sejauh Tuhan Langit. Sebagian lainnya bahkan dengan terang-terangan mengklaim bahwa Tuhan telah mati. Yang jelas dia tampak telah sirna dari kehidupan semakin banyak orang, terutama di Eropa Barat. Mereka berbicara tentang suatu “lubang yang pernah diisi oleh Tuhan” dalam kesadaran mereka karena, meski tampak tak relevan bagi sekelompok orang, dia telah memainkan peran krusial dalam sejarah kita dan merupakan salah satu gagasan terbesar umat manusia sepanjang masa. Untuk memahami apa yang telah hilang dari kita itu—jika memang dia telah hilang—kita perlu melihat apa yang dilakukan manusia ketika mereka mulai menyembah Tuhan ini, apa maknanya, dan bagaimana dia dipahami.
.
Untuk melakukan itu, kita perlu menelusuri kembali dunia kuno Timur Tengah, tempat gagasan tentang Tuhan kita secara perlahan tumbuh sekitar 14.000 tahun silam. Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak di antara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. Kultur ilmiah kita telah mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir di hadapan kita. Metode menyelidiki dunia seperti ini memang telah membawa banyak hasil. Akan tetapi, salah satu akibatnya adalah kita, sebagaimana yang telah terjadi, kehilangan kepekaan tentang yang “spiritual” atau “suci” seperti yang melingkupi kehidupan masyarakat yang lebih tradisional pada setiap tingkatannya dan yang dahulunya merupakan bagian esensial pengalaman manusia tentang dunia. Di Kepulauan Laut Selatan, mereka menyebut kekuatan misterius ini sebagai mana; yang lain mengalaminya sebagai sebuah kehadiran atau ruh; kadang-kadang ia dirasakan sebagai sebuah kekuatan impersonal, seperti layaknya sebentuk radioaktivitas atau tenaga listrik. Kekuatan ini diyakini bersemayam dalam diri kepala suku, pepohonan, bebatuan, atau hewan-hewan. Orang Latin mengalami numina (ruh-ruh) dalam semak yang dianggap suci; orang Arab merasakan bahwa daratan dipenuhi oleh jin-jin. Secara alamiah, manusia ingin bersentuhan dengan realitas ini dan memanfaatkannya, tetapi mereka juga ingin sekadar me- ngaguminya. Ketika orang mulai mempersonalisasi kekuatan gaib dan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan, mengasosiasikannya dengan angin, matahari, laut, dan bintang-bintang tetapi memiliki karakteristik manusia, mereka sebenarnya sedang mengekspresikan rasa kedekatan dengan yang gaib itu dan dengan dunia di sekeliling mereka.
.
Rudolf Otto, ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman yang menulis buku penting The Idea of the Holy pada 1917, percaya bahwa rasa tentang gaib ini (numinous) adalah dasar dari agama. Perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika. Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia dalam cara yang berbeda-beda—terkadang ia mengins- pirasikan kegirangan liar dan memabukkan; terkadang ketenteraman mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum, dan hina di hadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan. Ketika manusia mulai membentuk mitos dan menyembah dewa-dewa, mereka tidak sedang mencari penafsiran harfiah atas fenomena alam. Kisaji-kisah simbolik, lukisan dan ukiran di gua adalah usaha untuk mengungkapkan kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas ini dengan kehidupan mereka sendiri; bahkan sebenarnya para sastrawan, seniman, dan pemusik pada masa sekarang juga sering dipengaruhi oleh perasaan yang sama. Pada periode Paleolitik, misalnya, ketika pertanian mulai berkembang, kultus Dewi Ibu mengungkapkan perasaan bahwa kesuburan yang mentransformasi kehidupan manusia sebenarnya adalah sakral. Para seniman memahat patung-patung yang melukiskannya sebagai seorang perempuan hamil telanjang yang banyak ditemukan oleh para arkeolog tersebar di seluruh Eropa, Timur Tengah, dan India. Dewi Ibu itu tetap penting secara imajinatif selama berabad-abad. Seperti Tuhan Langit yang lama, dia kemudian masuk ke dalam kuil-kuil yang lama dan menempati posisi sejajar dengan dewa-dewa lain yang lebih tua. Dia dahulunya merupakan salah satu dewa terkuat, jelas lebih kuat daripada Dewa Langit, yang terus menjadi sosok yang remang-remang. Dia disebut Inana di Sumeria kuno, Isytar di Babilonia, Anat di Kanaan, Isis di Mesir, dan Aphrodite di Yunani. Kisah yang benar-benar mirip terdapat di semua kebudayaan ini untuk mengekspresikan peranannya di dalam kehidupa n spiritual manusia. Mitos-mitos ini tidak dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis untuk meng- gambarkan sebuah realitas yang terlalu rumit dan pelik untuk bisa diekspresikan dengan cara lain. Kisah-kisah dramatis dan mem- bangkitkan emosi tentang dewa-dewi ini membantu manusia untuk menyuarakan perasaan mereka tentang kekuatan dahsyat, namun tak terlihat yang mengelilingi mereka.
.
Di dunia kuno memang tampaknya manusia percaya bahwa hanya melalui keterlibatan dalam kehidupan yang suci ini mereka bisa menjadi manusia yang sesungguhnya. Kehidupan duniawi amat rentan dan dihantui bayang-bayang kematian, tetapi jika manusia meneladani tindakan dewa-dewa maka mereka akan memiliki dalam kadar tertentu kekuatan dan keefektifan dewa-dewa itu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahw a dewa-dew a itu telah memperlihatkan kepad a manusia bagaimana cara membangun kota-kota dan kuil-kuil mereka, yang merupakan salinan dari tempat mereka bersemayam di langit. Dunia suci para dewa—seperti yang sering diceritakan di dalam mitos—bukanlah sekadar sebuah ideal yang ke arah itu manusia harus menuju, tetapi merupakan prototipe eksistensi manusia; itulah pola atau arketipe orisinal yang menjadi model kehidupan kita di sini. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada di bumi dipandang sebagai replika dari semua yang ada di dunia ilahiah. Inilah persepsi yang membentuk mitologi, organisasi ritual dan sosial kebanyakan kebudayan antik dan terus mempengaruhi lebih banyak masyarakat tradisional pada era kita sekarang ini. Di Iran kuno, misalnya, setiap orang atau objek di dunia jasadi (getik) diyakini mempunyai padanan- nya di dunia arketipal realitas suci (menok). Ini adalah perspektif yang sulit untu k kita apresiasi di dunia modern , karena kita memandang autonomi dan kebebasan sebagai nilai kemanusiaan yang tinggi. Namun demikian, ungkapan terkenal post coitum omne animal tristist est tetap mengungkapkan pengalaman yang sama: setelah suatu momen yang menegangkan dan dinanti-nanti dengan penuh harap, kita sering merasa kehilangan sesuatu yang lebih besar, namun senantiasa luput dari jangkauan- kita. Meniru tuhan masih menjadi ajaran agama yang penting: beristirahat pada hari Sabbath atau mencuci kaki pada hari Kamis Maundy—perbuatan-perbuatan yang tidak bermakna dalam dirinya sendiri—kini menjadi signifikan dan sakral karena orang-orang percaya bahwa perbuatan semacam itu pernah dikerjakan oleh Tuhan.
.
Spiritualitas yang serupa telah menjadi ciri dunia Mesopotamia kuno. Lembah Tigris-Eufrat, yang berada di wilayah pemerintahan Irak kini, telah dihuni sejak 4000 SM oleh kelompok manusia yang dikenal sebagai orang Sumeria. Mereka telah membangun salah satu kebudayaan oikumene (dunia berperadaban) terbesar pertama. Di kota-kota Ur, Erech, dan Kish, orang Sumeria mencipta aksara cunei• form mereka, membangun menara-kuil hebat yang disebut ziggurat, dan mengembangkan hukum, sastra, dan mitologi yang mengesan- kan. Tak lama berselang, kawasan itu diinvasi oleh orang Akkadian Semitik, yang kemudian mengadopsi bahasa dan peradaban Sumeria. Lalu, masih sekitar 2000 SM, orang Amorit menaklukkan peradaban Sumeria-Akkadian dan menjadikan Babilonia ibu kota mereka. Akhirnya, sekitar 500 tahun kemudian, orang Asyur bermukim di Asyur yang tak jauh dari situ lalu menguasai Babilonia pada abad kedelapan SM. Tradisi Babilonia ini juga mempengaruhi mitologi dan agama Kanaan, yang akan menjadi Tanah yang Dijanjikan bagi orang Israel kuno. Sebagaimana masyarakat di dunia kuno lainnya, orang Babilonia menisbahkan prestasi kebudayaan mereka kepada dewa-dewa yang telah mewahyukan gaya hidup mereka sendiri kepad a nene k moyan g mitikal masyarakat Babilonia. Denga n demikian, Babilonia dianggap sebagai gambaran surga, setiap candi- nya adalah replika kerajaan langit. Keterkaitan dengan alam suci ini dirayakan setiap tahun dalam Festival Tahun Baru yang meriah, yang telah secara kukuh dikembangkan pada abad ketujuh SM. Dirayakan di kota suci Babilonia selama bulan Nisan—atau April— Festival itu secara khidmat memahkotai raja dan menahbiska n kekuasaannya untuk tahun berikutnya.
.
Namun, stabilitas politik ini hanya bisa bertahan selama ia berpartisipasi di dalam pemerintahan dewa-dewa yang lebih abadi dan efektif, yang telah mengenyahkan kekacauan primordial ketika dunia pertama kali diciptakan. Dengan demikian, Festival sebelas hari suci itu mengantarkan para partisipan dari zaman yang profan ke alam para dewa yang sakral dan abadi melalui tindakan ritual. Seekor domba disembelih untuk meninggalkan tahun yang lama; penghinaan publik terhadap raja dan pemahkotaan raja yang zalim sebagai pengganti membangkitkan kembali kekacauan asal; pemberontakan menghidupkan kembali pertarungan dewa-dewa melawan kekuatan perusak.
.
Dengan demikian, perbuatan-perbuatan simbolik memiliki nilai sakramental; tindakan itu membuat orang Babilonia mampu meneng- gelamkan diri ke dalam kekuatan suci atau mana yang menjadi tempat bergantung peradaban besar mereka. Kebudayaan dirasakan sebagai sebuah pencapaian yang rentan, yang selalu bisa menjadi korban kekuatan yang mengacaukan dan memecah belah. Pada senja hari keempat Festival itu, para pendeta dan penyanyi paduan suara memenuhi bait suci untuk menyenandungkan Enuma Elish, puisi epik yang merayakan kemenangan para dewa atas kejahatan. Kisah ini bukanlah peristiwa faktual tentang asal usul fisik kehidupan di bumi, melainkan suatu upaya simbolik yang hati-hati untuk meng- ungkap sebuah misteri besar dan membebaskan kekuatan sucinya. Pengisahan harfiah tentang penciptaan adalah mustahil, sebab tidak ada orang yang hadir pada saat peristiwa-peristiwa yang tak ter- bayangkan itu terjadi: mitos dan simbol dengan demikian merupakan satu-satunya cara yang sesuai untuk menjelaskannya. Pandangan sekilas atas Enuma Elish memberi kita wawasan tentang spiritualitas yang melahirkan konsep kita tentang Tuhan Pencipta berabad-abad kemudian. Meskipun kisah biblikal dan Qurani tentang penciptaan akan mengambil bentuk yang sama sekali berbeda, mitos-mitos aneh ini tidak pernah benar-benar hilang, tetapi akan kembali masuk ke dalam sejarah Tuhan di kemudian hari, dikemas dalam sebuah idiom monoteistik.
Kisah dimulai dengan penciptaan dewa-dewa itu sendiri, sebuah tema yang—sebagaimana akan kita saksikan nanti—menjadi begitu penting dalam mistisisme Yahudi dan Muslim. Pada mulanya, seperti dituturkan dalam Enuma Elish, dewa-dewa muncul berpasangan dari sebuah substansi berair yang tidak berbentuk—sebuah substansi yang denga n sendirinya suci. Dalam mitos Babilonia—seperti yang kemudian tercantum dalam Alkitab—tak ada penciptaan yang bermula dari ketiadaan, itu sebuah gagasan yang asing bagi dunia kuno. Sebelum dewa-dewa maupun manusia ada, bahan mentah yang suci ini telah ada secara abadi. Ketika orang Babilonia mencoba mem- bayangkan zat primordial suci ini, mereka berpikir ia pasti mirip dengan tanah berpaya di Mesopotamia, yang tak henti-hentinya terancam banjir yang akan menyapu habis karya-karya manusia yang lemah. Oleh karena itu, dalam Enuma Elish, kekacauan {chaos) bukan berupa api panas yang mendidihkan, melainkan sebuah keadaan di mana segala sesuatu menjadi tanpa batas, definisi, dan identitas:Tatkala yang manis dan pahit menyatu, tak ada buluh yang terjalin, tak ada ketergesaan yang mengeruhkan air, dewa-dewa tak bernama, tak berwatak dan, tak bermasa depan.Kemudian tiga dewa muncul dari pusat tanah berpaya; Apsu(diidentifikasikan sebagai air sungai yang manis), istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, Rahim kekacauan. Namun, ketiga dewa ini bisa dikatakan merupakan model awal dan inferior yang me- merlukan perbaikan. Nama “Apsu” dan “Tiamat” dapat diterjemahkan sebagai “jurang”, “kehampaan” atau “teluk tak berdasar”. Mereka sama-sama memiliki potensi tak berbentuk dari ketiadaan bentuk yang azali dan belum mencapai suatu identitas yang jelas.
Selanjutnya, serangkaian dewa-dewa lain muncul dari mereka dalam proses yang disebut sebagai emanasi, yang akan menjadi sangat penting dalam sejarah Tuhan kita sendiri. Dewa-dewa baru dilahirkan dari dewa-dewa yang lain secara berpasangan, masing- masingnya mendapatkan definisi yang lebih besar dari yang sebelumnya seiring langkah maju evolusi keilahian. Pertama-tama datang Lahmu dan Lahamn (nama-nama mereka berarti “endapan lumpur”; air dan tanah masih bercampur menjadi satu). Kemudian muncul Ansher dan Kishar yang secara berurutan diidentifikasi dengan horizon langit dan laut. Setelah itu Anu (langit) dan Ea (bumi) tiba dan rae- nyempurnakan proses itu. Alam suci mempunyai langit, sungai-sungai, dan bumi yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Namun, pen• ciptaan baru saja dimulai; kekuatan jahat dan pemecah belah hanya bisa dikalahkan melalui perjuangan sengit dan tanpa henti.
Dewa- dewa yang lebih muda dan dinamis bangkit melawan tetua mereka, tetapi meskipun Ea mampu mengalahkan Apsu dan Mummu, dia tak berdaya menghadapi Tiamat, yang menghasilkan serombonga n monster beraneka ragam bentuk untuk berperang atas namanya. Untungnya Ea punya anak kandung yang luar biasa: Marduk, Dewa Matahari, spesimen keturunan dewa yang paling sempurna. Dalam sebuah pertemuan Majelis Agung para dewa, Marduk berjanji me- merangi Tiamat dengan syarat bahwa dialah yang nanti menjadi penguasa mereka. Akan tetapi, dia baru berhasil membunuh Tiamat dengan bersusah payah dan setelah melewati pertarungan yang lama dan berbahaya. Dalam mitos ini, kreativitas adalah sebuah pertarungan, diraih denga n susah payah setelah menempuh berbagai macam rintangan.
Bagaimanapun, pada akhirnya, Marduk berhasil mengangkangi mayat Tiamat yang raksasa dan memutuskan untuk menciptakan sebuah dunia baru; dia membelah tubuh Tiamat menjadi dua untuk membentuk lengkungan langit dan bumi manusia; kemudian dia merancang undang-undang yang akan menjaga agar segala sesuatu tetap berada pada posisinya yang telah ditentukan. Ketertiban mesti dicapai, tetapi kemenangan belum lagi sempurna. Kemenangan itu mesti dimantapkan kembali, melalui liturgi khusus, tahun demi tahun. Kemudian para dewa berkumpul di Babilonia, pusat bumi baru, dan mendirikan sebuah kuil tempat ritus-ritus langit diselenggarakan. Hasilnya adalah ziggurat besar untuk menghormati Marduk,“kuil bumi, simbol ketakterbatasan langit”.Tatkala kuil itu telah selesai, Marduk menempati singgasananya di puncak kuil dan dewa-dewa menggemakan suara:“Inilah Babilonia, kota kesayangan para dewa, tanah airmu yang tercinta!”Kemudian mereka melakukan liturgi“ dari sumber di mana semesta memperoleh strukturnya, dunia gaib menjadi nyata dan dewa-dewa mengambil tempat mereka di dalam semesta.”
Hukum dan ritual ini mengikat setiap orang; bahkan para dewa mesti menaatinya demi menjamin keberlangsungan ciptaan. Mitos mengekspresikan makna batin peradaban, sebagaimana orang Babilonia melihatnya. Mereka mengetahui betul bahwa nenek moyang mereka sendiri yang membangun ziggurat, tetapi kisah Enuma Elish menyuarakan kepercayaan mereka bahwa usaha kreatif mereka hanya mungkin bertahan jika memiliki keterkaitan dengan kekuatan ilahi. Liturgi yang mereka rayakan di Tahun Baru telah diciptakan sebelum manusia ada: liturgi itu tersurat dalam hakikat segala sesuatu, yang bahkan dewa-dewa tunduk kepadanya. Mitos itu juga mengekspresikan keyakinan mereka bahwa Babilonia adalah tempat suci, pusat dunia, dan tanah air dewata—sebuah pernyataan yang penting dalam hampir semua sistem keagamaan kuno. Ide tentang kota suci, tempat manusia merasakan kedekatan dengan kekuatan sakral, sumber segala wujud dan kesaktian, menjadi penting dalam ketiga agama monoteistik.
Akhirnya, hampir seperti sebuah kebetulan saja, Marduk rnenciptakan manusia. Marduk mengalahkan Kingu (teman dungu Tiamat yang diciptakannya setelah kekalahan Apsu), menebasnya, dan membentuk manusia pertama dengan cara mencampur darah dewa dengan abu. Para dewa menyaksikan dengan perasaan kaget dan takjub. Ada yang sedikit lucu dalam kisah mitikal tentang asal usul manusia ini; meski merupakan puncak penciptaan, tetapi manusia digambarkan berasal dari salah satu dewa yang paling bodoh dan tidak sakti. Akan tetapi, kisah itu mengandung satu hal penting lain. Manusia pertama diciptakan dari substansi seorang dewa; karenanya dia memiliki hakikat ilahiah, sekalipun terbatas. Tak ada jurang pemisah antara manusia dan dewa-dewa. Dunia alamiah, manusia, dan para dewa semuanya memiliki hakikat yang sama dan diturunkan dari substansi suci yang sama pula. Pandangan pagan bersifat holistik. Dewa-dewa tidaklah terasing dari umat manusia dalam kawasan ont o logis yang terpisah: ketuhanan secara esensial tidak berbeda dari kemanusiaan. Oleh karena itu, tidak diperlukan sebuah wahyu khusus dari para dewa atau undang-undang ilahi untuk diturunkan ke bumi. Dewa-dewa dan manusia berbagi penderitaan yang sama, satu-satu- nya perbedaan di antara mereka adalah bahwa dewa-dewa itu lebih kuat dan abadi.
Visi holistik ini tidak terbatas di Timur Tengah, tetapi lazim di seluruh dunia kuno. Pada abad keenam SM, Pindar mengungkapkan versi Yunani tentang keyakinan ini dalam odenya mengenai per- tandingan Olimpiade:
Satu pertarungan, satu antara manusia dan dewa-dewa; Dari satu ibu kita berdua menarik napas. Tetapi perbedaan kekuatan dalam segalanya Memisahkan kita; Karena tanpa yang lain kita tiada, kecuali langit yang perkasa Tetap tidak berubah untuk selamanya. Namun dalam keagungan pikiran atau jasad
Kita bisa menjadi seperti yang Abadi.
Bukannya memandang para atlet sebagaimana adanya, yang masing-masing berpacu mencapai prestasi pribadi terbaiknya, Pindar menempatkan mereka berhadap-hadapan dengan dewa-dewa, yang menjadi pola bagi semua cita-cita manusia. Manusia meniru dewa- dewa bukan sebagai wujud yang tak berdaya, melainkan untuk me- menuhi potensi mereka yang secara esensial berwatak ilahiah.Mitos Marduk dan Tiamat tampaknya telah mempengaruhi orang Kanaan, yang memiliki kisah yang amat mirip tentang Baal-Habad, dewa badai dan kesuburan, yang sering disebut dalam Alkitab dengan cara yang jauh dari memuji. Kisah pertarungan Baal dengan Yam- Nahar, dewa laut dan sungai, diceritakan dalam lembaran yang ditulis sekitar abad keempat belas SM. Baal dan Yam keduanya tinggal bersama El, Dewa Tertinggi Kanaan. Pada Majelis El, Yam menuntut agar Baal diserahkan kepadanya. Dengan menggunakan dua senjata magis, Baal malah mengalahkan Yam dan nyaris membunuhnya andaikata Asyera (istri El dan ibu para dewa) tidak memohon dengan mengatakan bahwa membunuh lawan yang sudah tidak berdaya adalah tidak terhormat. Baal merasa malu dan melepaskan Yam, yang mewakili keganasan laut clan sungai yang tak henti-hentinya mengancam akan membanjiri bumi. Sedangkan Baal, dewa badai, membuat bumi menjadi subur.
Versi lain dari mitos itu menyebutkan bahwa Baal membunuh Lotan, naga berkepala-tujuh, yang dalam bahasa Ibrani disebut Leviathan. Dalam hampir semua kebudayaan, naga menyimbolkan sesuatu yang laten, tak berbentuk, dan tak kentara. Dengan demikian, Baal telah menghentikan kemungkinan untuk kembali ke dalam ketiadaan bentuk primal lewat tindakan yang betul-betul kreatif dan dianugerahi sebuah istana indah yang didirikan oleh para dewa untuk menghormatinya. Oleh karena itu, dalam setiap agama kuno, kreativi- tas dipandang suci: kita masih menggunakan bahasa agama untuk berbicara tentang “inspirasi” kreatif yang memperbarui realitas dan menyegarkan pemaknaan tentang dunia.
Akan tetapi, Baal kemudian mengalami kemunduran: dia mati dan harus turun ke alam Mot, dewa kematian dan sterilitas. Tatkala mendengar tentang nasib anaknya, Dewa Tertinggi El turun dari singgasananya, membalut Baal dan merajah pipinya, namun tetap tidak bisa menebus putranya. Adalah Anat, kekasih dan saudara pe- rempuan Baal, yang meninggalkan alam suci dan pergi mencari be- lahan jiwanya,
“merindukannya bagaikan induk sapi atau induk domba mencari anaknya.”
Ketika dia menemukan mayat Baal, dia menyelenggarakan upacara pemakaman untuk mengagungkannya, menangkap Mot, menebasnya dengan pedang, membelah, membakar, dan menginjak-injaknya seperti jagung sebelum kemudian menyemaikan- nya ke tanah.
Kisah yang mirip juga diceritakan tentang dewi agung lainnya— Inana, Isytar, dan Isis—-yang mencari mayat dewa dan membawa kehidupan baru ke atas bumi. Akan tetapi, kemenangan Anat harus diperbarui dan tahun ke tahun melalui upacara ritual. Belakangan— kita tak tahu entah dengan cara bagaimana, sebab pengetahuan kita tidak lengkap—Baal hidup lagi dan kembali ke pangkuan Anat. Pemujaan akan keutuhan dan harmoni, yang disimbolisasikan oleh kesatuan seks, dirayakan melalui seks ritual di kalangan masyarakat Kanaan kuno. Dengan meniru para dewa melalui cara ini, umat manusia ikut berjuang melawan sterilitas dan memastikan kreativitas serta kesuburan dunia. Kematian seorang dewa, pencarian sang dewi, dan keberhasilan untuk kembali ke alam suci merupakan tema-tema keagamaan yang konstan dalam banyak budaya dan akan muncul kembali dalam agama-agama dengan Satu Tuhan yang disembah oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam.
Agama ini di dalam Alkitab dinisbahkan kepada Abraham (Nabi Ibrahim), yang meninggalkan Ur dan akhirnya menetap di Kanaan pada suatu masa antara abad kedua puluh dan kesembilan belas SM. Kita tak memiliki riwayat kontemporer tentang Abraham, tetapi para peneliti menduga bahwa Abraham mungkin sekali merupakan salah seorang pemimpin kafilah pengembara yang membawa rakyatnya dari Mesopotamia menuju Laut Tengah pada akhir milenium ketiga SM. Para pengembara ini—sebagian dari mereka disebut Abiru, Apiru, dan Habiru dalam sumber-sumber Mesopotamia dan Mesir—berbicara dalam bahasa Semitik Barat, yang mana bahasa Ibrani adalah salah satunya.
Mereka bukanlah kaum nomad padang pasir yang reguler sebagaimana orang Badui yang berimigrasi bersama ternak-ternak mereka sesuai pergantian musim. Mereka lebih sulit diklasifikasikan dan sering terlibat konflik dengan autoritas-autoritas konservatif. Status kultural mereka biasanya lebih tinggi dibanding penduduk padang pasir itu. Sebagian bekerja sebagai tentara bayaran, pegawai pemerin- tah, ada yang menjadi pedagang, pelayan, atau tukang besi. Sebagian di antara mereka menjadi kaya raya dan kemudian berupaya mem- punyai tanah dan bermukim menetap. Kisah-kisah tentang Abraham di dalam kitab Kejadian menceritakan bahwa dia bekerja pada Raja Sodom sebagai prajurit bayaran dan bahwa dia sering berkonflik dengan autoritas Kanaan dan daerah sekitarnya. Pada akhirnya, ketika istrinya, Sara, meninggal, Abraham membeli tanah di Hebron, yang sekarang terletak di Tepi Barat.
Kisah dalam kitab Kejadian tentang Abraham dan anak keturunannya mengindikasikan adanya tiga gelombang kedatangan orang Ibrani di Kanaan, kawasan Israel pada era modern. Salah satunya terkait denga n Abraham dan Hebron , terjadi sekitar 1850 SM. Gelombang kedua berkaitan dengan cucu Abraham, Yakub, yang diganti namanya menjadi Israel (“Semoga Tuhan menunjukkan kekuasaannya”); dia menetap di Sikhem, yang sekarang menjadi kota Arab Nablus di Tepi Barat. Alkitab menceritakan kepada kita bahwa putra Yakub, yang menjadi leluhur dua belas suku keturunan Israel, beremigrasi ke Mesir selama musim paceklik yang hebat di Kanaan. Gelombang ketiga pemukiman Ibrani terjadi sekitar 1200 SM ketika suku-suku yang mengaku keturunan Abraham tiba di Kanaan dari Mesir. Mereka mengatakan bahwa mereka telah dijadikan budak oleh orang Mesir, tetapi dimerdekakan oleh suatu ilah bernama Yahweh, yang juga merupakan tuhan pemimpin mereka, Musa. Setelah mendesak masuk ke Kanaan, mereka beraliansi dengan orang Ibrani yang ada di sana dan kemudian disebut sebagai orang Israel. Alkitab membuat jelas bahwa orang-orang yang kita kenal sebagai bangsa Israel kuno merupakan konfederasi berbagai kelompok etnis, yang secara mendasar disatukan oleh kesetiaan mereka kepad a Yahweh, Tuhan Musa. Akan tetapi, kisah biblikal itu ditulis beberapa abad setelahnya, sekitar abad kedelapan SM, meskipun jelas disandar- kan pada sumber-sumber narasi yang lebih awal.
Dalam abad kesembilan,-beberapa sarjana biblikal Jerman mengembangkan metode kritis yang menguraikan empat sumber berbed a dalam lima kitab pertama Alkitab: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Ini kemudian dikumpulkan menjadi sebuah naskah akhir yang kita kenal sebagai Lima Kitab Musa (Pentateukh) pada abad kelima SM. Bentuk kritisisme semacam ini telah mendapat banyak perlakuan keras, namun tak ada seorang pun yang mampu menciptakan teori yang lebih memuaskan untuk menjelaskan mengapa terdapat kisah yang cukup berbeda tentang peristiwa-peristiwa biblikal penting, seperti Penciptaan dan Air Bah, dan mengapa kadangkala Alkitab mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri.
Dua penulis biblikal paling awal, yang karyanya dapat ditemukan dalam kitab Kejadian dan Keluaran, kemungkinan menulis pada abad kedelapan SM, walaupun ada yang menyebut kemungkinan penulisan di masa yang lebih awal. Salah satunya dikenal sebagai “J” karena dia menyebut nama Tuhannya dengan “Yahweh”, yang lainnya disebut “E” karena dia lebih suka meng- gunakan nama ketuhanan yang lebih formal, “Elohim”. Pada abad kedelapan, orang Israel telah membagi Kanaan menjadi wilayah dalam dua kerajaan terpisah. J menulis di Kerajaan Yehuda di sebelah selatan, sementara E berasal dari Kerajaan Israel di sebelah utara
Kita akan mendiskusikan dua sumber lain Lima Kitab Musa—tradisi Deuteronomis (D) dan Para Imam (P) tentang sejarah Israel kuno—pada Bab 2. Kita aka n melihat bahw a dalam banyak hal, baik J dan E mempunyai perspektif keagamaan yang mirip denga n tetangga mereka di Timur Tengah, tetapi kisah-kisah mereka memang mem- perlihatkan bahwa pada abad kedelapan SM, orang Israel mulai mengembangkan visi mereka sendiri yang khas. J, misalnya, memulai sejarah Tuhannya dengan kisah tentang penciptaan dunia, yang, jika dibandingkan dengan Enuma Elish, sangat tidak antusias:
Ketika TUHAN [Yahweh] Allah menjadikan bumi dan langit—belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, sebab TUHAN Allah belum menurunkan hujan ke bumi, dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu; tetapi, ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu—ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia (adam) itu dari debu tanah (adamah) dan mengembuskan napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
Ini benar-benar merupakan titik berangkat yang baru. Alih-alih berkonsentrasi kepada penciptaan dunia dan pada periode prasejarah sebagaimana kaum pagan sezamannya di Mesopotamia dan Kanaan, J lebih tertarik pada periode historis yang biasa. Tak terdapat keter- tarikan yang sungguh-sungguh tentang penciptaan di Israel hingga abad keenam SM ketika pengarang yang kita sebut “P” menuliskan kisahnya yang hebat dalam apa yang sekarang merupakan bab pertama kitab Kejadian. J tidak secara mutlak yakin bahwa Yahweh adalah satu-satunya pencipta langit dan bumi. Namun, yang paling mencolok adalah persepsi J tentang perbedaan nyata antara manusia dengan tuhan. Bukannya tersusun dari zat suci yang sama dengan tuhannya, manusia (adam), bagai sebuah permainan kata, adalah bagiah dari tanah (adamah).
Tidak seperti tetangga pagannya, J tidak mengesampingkan sejarah duniawi sebagai sejarah yang profan, lemah, dan tak sub- stansial dibandingkan sejarah dewa-dewa yang suci dan primordial. Dia bergegas melewati peristiwa-peristiwa prasejarah hingga tiba di penghujung periode mitis, yang mencakup kisah-kisah seperti Air Bah dan Menara Babel, kemudian tiba di permulaan sejarah Israel. Ini secara mendadak diawali pada bab kedua belas tatkala manusia Abram, yang kemudian diberi nama baru Abraham (“bapa sejumlah besar bangsa”), diperintahkan oleh Yahweh meninggalkan keluarga- nya di Haran, yang kini menjadi wilayah timur Turki, dan bermigrasi ke Kanaan dekat Laut Tengah. Kita diberi tahu bahwa ayahnya, Terah, seorang pagan, sudah lebih dahulu bermigrasi ke arah barat dari Ur bersama keluarganya. Kini Yahweh mengatakan kepad a Abraham bahwa dia memiliki takdir istimewa: dia akan menjadi bapak sebuah bangsa besar yang suatu hari akan berjumlah lebih banyak daripada bintang-bintang di langit, dan suatu ketika anak keturunannya akan menguasai tanah Kanaan sebagai milik mereka. Kisah J tentang panggilan bagi Abraham ini menetapkan nada awal bagi sejarah Tuhan ini di masa depan. Di Timur Tengah kuno, mana yang suci dialami dalam ritual dan mitos. Marduk, Baal, dan Anat tidak diharap- kan terlibat dalam kehidupan awam yang profan dari para penyem- bahnya: tindakan-tindakan mereka telah berlangsung dalam waktu yang sakral. Akan tetapi, kekuasaan Tuhan Israel bekerja secara langsung dalam peristiwa-peristiwa di dunia nyata. Dia dialami sebagai sesuatu yang ada di sini dan pada saat ini. Wahyu pertamanya berisi- kan sebuah titah: Abraham harus meninggalkan negerinya dan pergi ke Kanaan.
Akan tetapi, siapakah Yahweh? Apakah Abraham menyembah Tuhan yang sama dengan Musa atau apakah dia mengenalnya dengan nama yang berbeda? Ini adalah persoalan penting bagi kita pada masa sekarang, tetapi Alkitab, anehnya, tampak kabur dalam hal ini dan memberikan jawaban yang bertentangan. J menyatakan bahwa manusia telah menyembah Yahweh sejak masa cucu Adam, tetapi pada abad keenam, P sepertinya menyiratkan bahwa orang Israel tidak pernah mendengar tentang Yahweh hingga dia menampakkan diri kepada Musa di Semak Menyala. P membuat Yahweh menjelaskan bahwa sebenarnya dia adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan Abraham, seakan-akan ini merupakan pernyataan yang agak kontro- versial: dia mengatakan kepada Musa bahwa Abraham memanggilnya “El Shaddai” dan tidak mengetahui nama suci “Yahweh”.
Kesenjangan itu tampaknya tidak terlalu merisaukan para penulis atau editor biblikal. J selamanya menyebut tuhannya “Yahweh”: pada masa dia menuliskan itu, Yahweh memang adalah Tuhan Israel dan itulah kenyataannya. Agama Israel bersifat pragmatis dan hanya sedikit memedulika n perincian spekulatif semacam ini yang biasanya menarik perhatian kita sekarang. Namun demikian, kita tidak bisa berasumsi bahwa Abraham dan Musa beriman kepada Tuhan mereka dengan cara sebagaimana kita saat ini. Kisah-kisah biblikal dan sejarah Israel bjegitu populer sehingga kita cenderung memproyeksikan pengetahuan kita tentang agama Yahudi yang kemudian kepada tokoh-tokoh sejarah awal yang terkemuka ini. Oleh karena itu, sering kita asumsikan bahwa ketiga patriark Israel—Abraham, putranya Ishak, dan cucunya Yakub—adalah monoteis, bahwa mereka beriman kepada hanya satu Tuhan. Keadaannya barangkali tidak demikian. Bahkan mungkin lebih akurat untuk menyebut orang-orang Ibrani awal ini adalah kaum pagan yang banyak memiliki kesamaan ke- percayaan keagamaan dengan tetangga mereka di Kanaan. Mereka mungkin sekali juga meyakini eksistensi sesembahan, seperti Marduk, Baal, dan Anat. Mungkin pula tidak semua mereka menyembah ilah yang sama: barangkali Tuhan Abraham adalah “Takut” atau “Saudara Sesuku”, Tuhan Ishak adalah “Yang Perkasa”, dan Tuhan Yakub adalah tiga tuhan yang berbeda.
Kita bisa melangkah lebih jauh. Adalah sangat mungkin bahwa Tuhan Abraham adalah El, Tuhan Tertinggi Kanaan. Tuhan itu mem- perkenalkan dirinya kepada Abraham sebagai El Shaddai (El Pegu- nungan), salah satu gelar tradisional El.9 Di tempat lain, dia disebut El Eliyon (Tuhan yang Mahatinggi) atau El dari Betel. Nama Tuhan Tertinggi Kanaan terekam dalam nama-nama berbahasa Ibrani, seperti Isra-El atau Ishma-El. Mereka mengalaminya melalui cara-cara yang tidak lazim bagi kaum pagan Timur Tengah. Akan kita saksikan bahwa beberapa abad kemudian orang Israel menemukan mana atau “kesucian” Yahweh sebagai pengalaman yang menggentarkan. Di Gunung Sinai, misalnya, dia menampakkan diri kepada Musa di tengah letusan gunun g api yang menginspirasikan kekaguman .
Sebagai perbandingan, El bagi Abraham adalah tuhan yang sangat lembut. Dia menampakkan diri kepada Abraham sebagai seorang teman dan kadang dengan rupa manusia. Jenis penampakan ini, disebut sebagai epifani, cukup lazim di dunia pagan kuno. Meskipun biasanya dewa-dewa tidak diharapkan campur tangan langsung terhadap kehidupan terbatas umat manusia, beberapa individu istimewa di era mitikal telah bertemu muka dengan dewa-dewa mereka.

judas oh judas your my love "GAGA"

Kalau saja semua orang setuju tafsiran Lady Gaga dalam lagunya berjudul “Judas”, bahwa tidak peduli siapa pun Anda, Yesus pasti mencintai dan mengasihimu, maka lagu ini bisa dinikmati tanpa ada rasa risi sedikit pun. Tapi, apakah di situ letak persoalannya? Mengapa ribuan bahkan mungkin jutaan orang seantero dunia yang tidak setuju dengan cara Lady Gaga menafsirkan Kisah Judas dan mempresentasikannya baik melalui lirik maupun video clip lagunya itu? Mengapa negara seperti Lebanon menolak – akhirnya sudah menerima juga – impor dan penjualan kaset Ladi Gaga di negeri itu hanya karena lagu Judas yang bisa menyinggung perasaan agama tertentu?
Simak saja lagu ini di Youtube yang ketika saya akses (17 Juni 2011), telah dinikmati sekurangnya 61 juta orang dan selidiki beragam reaksi atas lagu itu. Kalau mau berpikir dikotomis, berbagai reaksi itu bisa direduksikan menjadi dua kutub, yakni mereka yang pro, setuju dan mendukung berhadapan dengan mereka yang menentang. Kalau mau lebih bombastis lagi, mereka yang mendukung kita sebut kelompok liberal, sementara para penentang kita masukkan sebagai kaum konservatif. Tentu dengan kaca mata berpikir seperti ini, kita segera menemukan mereka yang mendukung jenis musik, lirik, dan video klip lagu Judas seraya memujinya sebagai bagian dari ekspresi kebebasan. Ada juga mereka yang lebih radikal pikirannya – tampaknya mereka benar-benar membenci Gereja (Katolik) – yang menafsir lagu Judas ini sebagai kritik terhadap ajaran Kristiani. Seorang komentator di Youtube dengan nama samaran “xafflictxbrutalizex” mengatakan demikian, “Menurut tafsiran saya, video ini mengungkap Kebohongan Besar yang selama ini dipertahankan Gereja Katolik, yang mengatakan bahwa Allah mengasihi semua orang, tidak peduli siapa dia. Padahal Allah tidak mengasihi semua orang, terbukti dengan adanya dosa asal.”
Menarik mengikuti komentator-komentator yang ada di Youtube di mana bisa dikatakan hampir seratus persen bernada negatif. Tidak tahu apakah ini memang komentar-komentar bernada sinis dan melawan Lady Gaga sengaja dipertahankan “pemilik” video lagu Judas ini atau tidak. Apakah reaksi-reaksi melawan lirik dan lagu Judas sebagai bagian dari kesadaran puritanisme kaum Kristiani, bahwa Lady Gaga telah melanggar kepatutan seorang Kristiani dalam mengeritik Gereja? Tapi emangnya Lady Gaga seorang Kristen? Jika dia seorang Kristen, apa salah kalau dia sendiri mengkritik agamanya? Lalu, apakah lagu ini memang benar-benar menyinggung perasaan orang Kristen?
Kita simak saja lirik lagu ini sambil melihat di manakah letak ketersinggungan itu. Lirik lagu Judas selengkapnya seperti berikut. Klik YouTube
Woah woah woah woah woah
I’m in love with Juda-as, Juda-as
Woah woah woah woah woah
I’m in love with Juda-as, Juda-as
Judas Juda-ah-ah, Judas Juda-ah-ah, Judas Juda-ah-ah, Judas GaGa
Judas Juda-ah-ah, Judas Juda-ah-ah, Judas Juda-ah-ah, Judas GaGa
[Lady Gaga - Verse 1]
When he calls to me, I am ready
I’ll wash his feet with my hair if he needs
Forgive him when his tongue lies through his brain
Even after three times he betrays me
Ah-ah-ahhh-ow uh uh o
Ah-ah-ahhh-ow uh uh o
I’ll bring him down, bring him down, down
Ah-ah-ahhh-ow uh uh o
Ah-ah-ahhh-ow uh uh o
A king with no crown, king with no crown
[Chorus]
I’m just a Holy fool
Oh, baby, it’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby
I’m just a Holy fool
Oh, baby, it’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby
Woah woah woah woah woah
I’m in love with Juda-as, Juda-as
Woah woah woah woah woah
I’m in love with Juda-as, Juda-as
Judas Juda-ah-ah, Judas Juda-ah-ah, Judas Juda-ah-ah, Judas GaGa
[Lady Gaga - Verse 2]
I couldn’t love a man so purely
Even prophets forgave his crooked way
I’ve learned love is like a brick, you can
Build a house or sink a dead body
Ah-ah-ahhh-ow uh uh o
Ah-ah-ahhh-ow uh uh o
I’ll bring him down, bring him down, down
Ah-ah-ahhh-ow uh uh o
Ah-ah-ahhh-ow uh uh o
A king with no crown, king with no crown
[Chorus]
I’m just a Holy fool
Oh, baby, it’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby
I’m just a Holy fool
Oh, baby, it’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby
Woah woah woah woah woah
I’m in love with Juda-as, Juda-as
Woah woah woah woah woah
I’m in love with Juda-as, Juda-as
Ew!
[Bridge]
In the most Biblical sense,
I am beyond repentance
Fame hooker, prostitute wench vomits her mind
But in the cultural sense
I just speak in future tense
Judas, kiss me if offenced,
Or wear ear condom next time
I wanna love you,
But something’s pulling me away from you
Jesus is my virtue,
And Judas is the demon I cling to
I cling to
[Chorus]
I’m just a Holy fool
Oh, baby, it’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby
I’m just a Holy fool
Oh, baby, it’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby
Woah woah woah woah woah
I’m in love with Juda-as, Juda-as
Woah woah woah woah woah
I’m in love with Juda-as, Juda-as
Judas Juda-ah-ah, Judas Juda-ah-ah, Judas Juda-ah-ah, Judas GaGa
***
1308325618817846859Kalau kita setuju bahwa manusia adalah insan berdosa dan Judas bisa ditafsir sebagai simbol kedosaan manusia, kata-kata Lady Gaga sebenarnya merepresentasikan sifat kemanusiaan kita: I am in Love with Judas yang dapat dibaca sebagai “saya menyukai dosa” atau senang berbuat dosa, dan sebagainya. Kata-kata lainnya dalam lirik sehubungan dengan cinta pada Judas bisa direduksikan ke relasi manusia dengan dosa dan kedosaan manusia. Juga bahwa sering status kedosaan itu dipertahankan karena menyenangkan. Kita nyaman berada dalam dosa sehingga pertobatan menjadi sesuatu yang sulit terwujud.
Sejauh ini, pesan lagu Judas tentu tidak ada masalah. Yang “agak” aneh justru pada lirik yang dimulai dengan kata-kata: But something’s pulling me away from you , Jesus is my virtue, And Judas is the demon I cling to, I cling to.” Menurut saya, cara tafsir Lady Gaga ini mengandung kekeliruan. Dalam pikiran awam kita biasanya memahami bahwa dosa dan iblislah “biang kerok” yang menjauhkan kita dari Tuhan dan cinta kita padaNya. Apa yang dikatakan Lady Gaga dalam lagu itu seakan-akan mengatakan bahwa “manusia itu menyukai dosa dan selalu berusaha untuk tetap dalam dosa, tetapi gara-gara Tuhan manusia tidak mau hidup dalam dosa lagi. Nah, jika tafsir semacam ini benar, maka hubungan atau relasi dengan Tuhan menjadi sesuatu yang buruk dan sebaiknya dihindari, karena hanya akan menjauhkan atau memisahkan kita dari iblis (baca: kenikmatan, kesenangan, kegemerlapan).
Dan itu dikatakan dalam syair berikutnya, ketika Lady Gaga mengatakan, “Oh, baby, it’s cruel, but I’m still in love with Judas, baby.” Di titik inilah saya mengerti dengan baik kenapa komentator pada video clip Judas di YouTube nyaris bernada negatif semua.
Saya lalu berpikir, jangan-jangan seperti inilah cara orang modern memahami hubungan dengan Tuhannya. Bahwa dunia ini begitu enak dan menjanjikan kenikmatan. Bahwa seharusnya kita terus tenggelam dalam kesenangan dunia dan merayakannya, karena di situlah kita menemukan kebebasan kita seutuhnya sebagai manusia. Kehadiran Tuhan justru akan memisahkan kita dari kenikmatan itu.
Ya, kalau pemahaman seperti ini yang dipakai, tidak mengherankan bahwa agama (mungkin hanya Kristianitas) tidak menarik lagi, terutama di Barat. Apakah memang demikian? Aku pun tak tahu. Tapi anehnya, ketika beberapa kali mendengar lagu Judas, saya perlahan menyukainya

Wednesday 3 August 2011

arti symbol tattoo secara general

Tattoo merupakan Seni Rajah yang permanent, adapun artikel di bawah ini adalah untuk membantu agar tidak salah dalam menentukan gambar tattoo. Karena tattoo memiliki arti arti yang mengambarkan sesuatu dari visual. Adapun tulisan di bawah ini hanya sebagai kerangka arti Tattoo secara umum, masing2 tentu punya persepsi sendiri tentang motif tattoo yang di inginkan. Adapun artikel ini saya sadur dari buku " The Body Modification Black Book, by Richard Le May.

Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan atau maksud yang berbeda, mohon komentarnya kepada semua teman2 jika ada kesalahan atau kekurangan tolong kasih tahu saya agar bisa saya koreksi, mudah2an ini bisa menambah wawasan kita akan seni tattoo. Dan agar tidak ada lagi kesalah pahaman tentang motif tattoo secara umum

Apel : Melambangkan ‘Awal Kehidupan yang Baru’ , hal ini diambil dari kisah Nabi Adam dan Hawa.

Pisau : Melambangkan ‘Loyalitas terhadap Sesuatu Hal atau Keteguhan Hati’ , ini di dapat dari kebudayaan bangsa Jepang yang rela memotong jari sebagai tanda penyesalan dari kegagalan yang dilakukan untuk menaikan harga diri yang telah jatuh.

Mata : ‘Melambangkan ‘Sisi Keingin tahuan yang lebih mengarah kepada sifat Waspada’. Ini didapat dari para napi yang berada di dalam penjara yang mana sebagai tanda pernah dilecehkan secara seksual oleh napi lain. Dan ada juga yang digunakan sebagai tanda, bahwa pemilik tattoo tersebut merupakan informan yang telah di ketahui identitasnya.

Kipas : Biasanya dalam motif tattoo digambarkan kipas oriental, banyak orang yang salah mengartikan kipas ini sebagai symbol sisi keindahan dan feminism dari seorang wanita, karena selalu dihubungkan dengan seorang Geisha yang memegangnya, tapi kenyataannya sendiri di Jepang kipas merupakan alat untuk mengusir roh jahat.

Bendera : Bendera melambangkan sisi Patriot atau sisi cinta Tanah Air. Untuk luar negeri mungkin banyak sekali motif bendera yang dijadikan Tattoo sebagai status kewarga negaraan dan sisi cinta tanah air.

Fleur de Lis : Digunakan dalam symbol Pramuka di seluruh dunia, yang mana lambing ini merupakan lambang resmi kerajaan Perancis yang mempunyai arti Kemerdekan dan Kebebasan.

Buah Anggur : Merupakan symbol tua dari bangsa Greek yang melambangkan Dewa Dioysus, banyak yang salah mempresepsikan symbol buah Anggur sebagai lambang ‘Kesuburan dan Kehidupan’, namun dalam motif Tattoo, Anggur melambangkan ‘Kehidupan yang Sempurna dengan Alkohol yang Selalu Menemaninya’.Mungkin kalau di Indonesiakan artinya adalah pecinta minuman keras.

Bunga Lotus : Dalam budaya Chinese bunga Lotus adalah bunga yang indah walaupun tumbuh di daerah yang berlumpur. Hal ini mengambarkan ‘Semua itu Indah walaupun tak ada yang Sempurna’

Bintang Nautical : Motif ini sering sekali dipakai sebagai motif Tattoo, baik dari jaman dulu sampai sekarang. Bintang yang memiliki Strip warna Hitam dan Merah, namun tidak menutup penggunaan warna lain, ini mem visualisasikan sebagai ‘Sinar Kehidupan yang Tak Pernah Padam’ atau dengan kata lain melambangangkan ‘Kekuatan yang dimiliki oleh semua orang’.

Jaring Laba-laba : Beberapa mengatakan Tattoo gambar Jaring Laba-laba di sikut melambangkan kehidupan, namun asal dari motif ini adalah dari Gangster motor terkenal yang bernama Hells Angels yang memiliki arti ‘Penjaga Bikers agar tidak terjatuh saat mengendarai Motor Harley’ atau sebagai symbol ‘Penjaga agar terjauh dari Kesialan’.

Jangkar : Sekilas memang seperti mengambarkan seorang Pelaut, namun arti sesungguhnya adalah symbol yang memiliki arti ‘Perlindungan,Harapan, dan Pengorbanan’. Lebih ditujukan sebagai ‘Rasa Tanggung Jawab sebagai Kepala Keluarga’.

Bunga Hibiscus : Dikenal dengan “Clover” merupakan symbol nasioanal bangsa Irish, yang memiliki arti ‘Kekuatan dan Ketegara Seorang Wanita, biasanya untuk menunjukan kasih saying kepada Ibu.

Bulu : Simbol yang mengambarkan ‘Kreativitas , atau untuk Mengambarkan Perasaan seperti Terlahir Kembali’.

Hati : ‘Mengambarkan Sifat Kasih Sayang’ .

Daun : ‘Mengambarkan Kebahagian atau Baru Terlahir Kembali’.

Bulan : ‘Pengambaran dari Irama Kehidupan yang silih berganti’.

Bunga Mawar : Sebenernya buat arti bunga secara keseluruhan adalah ‘Kecantikan dan Keindahan yang abadi’, namun bunga mawar memiliki arti ‘Kesuburan yang mana dipakai oleh kaum pagan sebagai symbol yang mengambarkan wanita’.

Tengkorak: ‘Menggambarkan seuatu yang kelam atau kematian’

Motif Binatang :

Burung : Melambangkan ‘Kebebasan dan Keindahan’ hal ini diwakili oleh gradasi warna yang cerah. Biasanya untuk gambar burung ini sering dipakai adalah burung Walet(Swallow, burung Hantu (Owl), burung Phoenix, burung Gagak dll. Untuk Pria biasanya mengambil contoh motif2 burung Wallet yang dihiasi dengan Bintang (Melambangkan Bangkit dari Kegelepan), atau burung Gagak (Memiliki arti Kebangkitan), sementara wanita lebih banyak variasi seperti Phoenix (melambangkan kekuatan), burung Merak (melambangkan Keindahan).

Kura-kura : ‘Umur yang panjang’.

Singa : ‘Melambangkan Keberanian, Waspada, Keabadian’.

Monyet : ‘Pengharapan, Pengetahuan atau Kekuatan Setan’. Terkenal dengan istilah Three Mongkey ( See No Evil, Talk No Evil, and Hear No Evil)’.

Kodok : ‘Mengambarkan Perubahan Positif dalam Kehidupan’.

Anjing : Melambangkan ‘Kesetian dan Kepercayaan’ inilah cikal bakal kalimat Man’s Best Friend.

Capung : Memiliki arti ‘Kehidupan dan Spiritual’.

Kadal : Memiliki arti ‘Kekuatan untuk Bangkit dari Kesulitan , hal ini dikarenakan Kadal, Cicak atau Tokek saat terancam akan memutuskan ekornya untuk bertahan hidup dan seiring waktu ekor tersebut akan tumbuh kembali.

Kucing : Melambangkan ‘Sisi Wanita yang Feminim dan Lembut’, hal ini dikarenakan kucing merupakan hewan yang haus kasih saying. Sementara untuk bangsa Mesir kucing melambangkan ‘Symbol Kematian, yang mana diasumsikan sebagai Hewan yang bisa ‘Membantu Menghubungkan Kehidupan Alam Dunia dengan Alam Kematian’. 

Ikan :Biasananya sering dipakai adalah motif ikan Koi, ikan Cupang, Hiu, Lumba-lumba dll. Motif ini sering didefinisikan oleh penggemar tattoo sebagai symbol dari kesuburan, hal ini didapat dari bangsa Romawi yang tertera dalam Naskah ‘The Celtic of Wisdom’. Berbeda dengan kebudayaan Jepang, Koi merupakan symbol ‘Kekuatan dan Keindahan’

Banteng : Mengambarkan’Kekuasaan dan Kekuatan’.

Kupu-kupu : Sebagian besar mengartikan kupu-kupu adalah sebagai symbol keindahan, namun arti sebenarnya adalah sebagai ‘Tanda Syukur akan Keindahan Warna warni Kehidupan di Dunia walaupun Sementara’ , ini dikarenakan umur kupu-kupu yang singkat namun memiliki keindahan warna-warni pada sayapnya.

Mythologi dan Kepercayaan :

Naga : Untuk naga ada dua pengertian, untuk naga Amerika (American dragon) , melambangkan ‘Kekuatan’, sementara naga Jepang(Japanese Dragon), melambangkan ‘Keinginan (cita-cita) dan Kepintaran’ , biasanya untuk Japanese Dragon di gabung dengan Macan untuk men visualkan ‘Keinginan dan Keindahan’.

Salib : Simbol dari agama Kritiani yang mengambarkan ‘Pengorbanan dan Cinta Kasih’.

Peri :Peri merupakan makhluk mitology yang melambangkan ‘Sifat Anak Kecil yang Selalu Tersenyum’ Ini diambil dari Bangsa Irish yang mengambarkan ‘orang yang optimis, bahwa setelah kesulitan ada kebahagian’. 

Yin-Yang : ‘Simbol Keseimbangan’.

Malaikat : Ada dua model dalam pengambaran malaikat, yaitu ada malaikat pria dan malaikat wanita. Namun keduanya memiliki kesamaan arti yaitu sebagai symbol ‘Perlindungan, Keamanan, dan Sebagai Penjaga Harapan dan Cita-cita’.

Ganesha : Salah satu motif agama Hindu yang menggambarkan Dewa berkepala gajah yang memiliki arti ‘Waspada dan Perlindungan’ namun masyarakat Indonesia sendiri memiliki pengertian sebagai symbol ‘Ilmu Pengetahuan’.

Griffin : Merupakan makhluk Mitology dari bangsa Yunani kuno, yang mana digambarkan sebagai makhluk yang Berkepala Elang namun Berbadan Singa dan memiliki sayap. Yang mana pada masa Abad pertengahan di Eropa dijadikan symbol religi yang dinamakan “Zoroastrianism”. Tapi kemudian oleh Kaum Gereja Katolik dijadikan sebagai symbol yang mengambarkan dua sisi dari Tuhan Yesus.

Mata Horus : Dikenal dengan nama “The Eye of Horus” , merupakan symbol dari bangsa Mesir yang mana tergambar sebagai “Mata Kiri dari Dewa Horus”. Horus menurut bangsa Mesir kuno merupakan ‘Dewa Perang dan Perlindungan’. Namun makin kesini ada yang mengartikan bahwa Mata Horus merupakan symbol dari komunitas Illuminati International, yang mana merupakan symbol ‘Perlindungan dari Setan’, biasanya disatukan dengan gambar Jangka.

Mata Rah : Dikenal dengan nama “The Eye of Rah” perbedaan dengan mata Horus adalah jika mata Horus memiliki lekukan ke kiri, sedangkan mata Rah memiliki lekukan ke kanan. Yang tergambar sebagai ”Mata Kanan dari Dewa Horus” yang memiliki arti ‘Penciptaan Kehidupan yang Baru’.

Kokopelli : Mungkin asing mendengar kata ini, namun jika kita search di Google dari “Kokopelli” mungkin dari kita pernah melihatnya, gambar ini juga banyak yang salah mengartikan sebagai lambang dari Rastafarian atau kaum pecinta musik Reggae atau lambang dari pecinta musik Ska. Lumrah jika sebagian salah mengartikannya karena memang jika diperhatikan seperti gambar orang berambut gimbal yang sedang memaikan alat music tiup. Namun pada kenyataannya Kokopelli merupakan symbol dari bangsa India yang melambangkan ‘Kesuburan dan Kejantanan Pria’.