Friday, 9 March 2012
Sikap Apologetik Umat Islam
Tulisan ini terinspirasi dari berbagai diskusi dan debat wacana agama yang saya ikuti di berbagai forum online di dunia maya. Mulai di Kompasiana, Tempo, VivaNews, Kaskus , blogernas grup dan berapa forum lain di Facebook.
Apa inti persoalan yang ingin saya lemparkan?
Yaitu tentang apologi.
Tentang sikap umat Islam yang mabuk membenarkan diri.
Sikap pembenaran yang mereka lakukan atas Islam ketika terjadi diskusi tentang agama.
Bagi saya, diskusi dan debat agama adalah medan tarung antar gagasan. Gagasan seputar problem keagamaan. Siapapun pesertanya. Tanpa rasa risih, jaim apalagi sikap curang dan bertele-tele. Karena dengan sikap bebas dan sportiflah sebuah diskusi agama akan ada hasilnya. Terlepas apakah sebuah agama yang diyakini akan menjadi sorotan kritis dari forum diskusi. Tapi tetap visinya adalah dalam rangka ekpslorasi pemahaman. Menguliti berbagai problem agama secara jujur apa adanya. Tanpa pretensi tanpa prasangka selama proses berlangsung. Semuanya berangkat dengan sikap telanjang bebas. Tanpa pemihakan apalagi pembenaran, meskipun terhadap agama sendiri. Sehingga hasil akhirnya, semua peserta mendapatkan refleksi kritis yang mencerahkan, untuk kemudian bisa diterapkan pada sikap dan keyakinan masing-masing, agar penghayatannya atas agama masing-masing bisa menukik lebih dalam. Ataupun justru terinspiasri untuk sebuah penjelajahan spiritual yang baru.
Karena itu dalam konteks diskusi agama, iman harus disimpan dalam kantong. Yang disajikan di meja diskusi adalah data dan penalaran. Bukan keyakinan. Ini bukan berarti bahwa keyakinan dilucuti. Tapi disimpan sejenak di ruang kesunyian masing-masing agar roda diskusi bisa bebas lancar menggelinding kemana diskusi akan mengalir, mencari tempatnya yang paling meyakinkan. Dan mencerahkan bagi semua pihak. Tanpa sikap ini, maka diskusi bisa menjadi macet. Bahkan kacau. Dan tidak jarang menjadi ajang saling hujat dan caci maki.
Diskusi kritis agama, bagi saya ibarat melewati jembatan penyeberangan yang menantang. Mendebarkan, tapi sekaligus mencerahkan bila berhasil melewatinya dengan sungguh-sungguh.
Tapi apa yang saya saksikan di lapangan maya?
Rata-rata umat Islam (bukan semuanya), belum kompeten untuk bergumul dalam forum diskusi.
Apa sebab?
Tampaknya mereka manjadikan forum bukan untuk diskusi. Tapi sebagai corong promosi. Promosi bahwa agama Islam dengan segala perangkatnya adalah kebenaran absolut yang bergaransi dari Tuhan. Sehingga yang mereka kemukakan bukan pendalaman materi kritis tentang topik yang dibahas. Bukan mengeskplor apa yang menjadi objek kajian.
Apalagi jika yang menjadi topik adalah agama Islam sendiri. Misalnya tentang Alquran dan Muhammad. Bukannya mencoba memahami sudut pandang lawan diskusi ketika ada kritik atas kedua hal itu, tapi justru mereka siap siaga melemparkan peluru pembelaan. Dengan mengumpulkan alibi (mereka menyebutnya bukti) agar klaim kebenaran mereka diakui oleh forum.
Saat menghadapi kritik, mereka mirip seorang yang ditimpa banjir besar. Mereka berusaha menjangkau apa saja disekitarnya, mulai dari rumput, batu, tonggak, bahkan pucuk-pucuk dedaunan agar tubuhnya tidak dihanyutkan oleh arus air, walaupun akhirnya mereka juga hanyut digulung air bah.
Artinya, mereka cendrung berlari kesana kemari.
Terhuyung-huyung berlindung dibalik perisai demi perisai sejauh yang bisa mereka jangkau.
Ketika dikritik bahwa ayat-ayat Alquran primitif, maka mereka mengutip ayat-ayat yang mengutuk sikap orang-orang yang tidak mempercayai Alquran sebagai firman asli dari Tuhan yang patut diyakini. Ketika dikritik bahwa Islam adalah agama kekerasan, mereka mengutip ayat-ayat yang menyatakan bahwa Islam bukan agama yang mengajarkan kekerasan. Tapi giliran ditunjukkan ayat-ayat yang memang sengaja menghasut agar menaruh kebencian pada umat agama lain, mereka mengatakan bahwa ayat tersebut harus dipahami secara komprehensif dan kontekstual. Tidak bisa dipahami secara harfiah, meskipun faktanya, ayat itu bukan mutasyabihat (konotatif). Tapi adalah ayat yang mukhamat (harfiah), yang sama sekali tidak memerlukan tafsir.
Ketika dikemukakan fakta bahwa berbagai aksi anarkis dan terror yang dilakukan umat Islam di gelanggang sosial, mereka buru-buru mengatakan bahwa agama lain juga melakukan hal yang sama dengan lebih parah lagi.
Ketika dikatakan bahwa sumbangsih umat Islam pada kemajuan peradaban dunia tidak signifikan, maka mereka buru-buru mengutip tokoh-tokoh Islam disepanjang sejarah. Mereka mengutip Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Batutah, Al Biruni, Al Jabar, Rumi, M. Iqbal dan sebagainya. Mereka bernostalgia bahwa begitu besar jasa Islam pada dunia. Tapi dunia telah melupakannya.
Tapi itu jika mereka berdiskusi dengan umat beragama yang berbeda. Mereka ingin menegaskan bahwa Islam juga agama yang hebat secara Ilmu Pengetahuan. Tapi ketika mereka diskusi dengan sesama umat Islam, justru tokoh-tokoh yang semula mereka kutip sebagai perisai dari kritik umat agama lain, terutama ketika mengkaji soal Tauhid dan Syariat Islam, maka tokoh-tokoh sains dan Filosof Islam itu justru berbalik mereka kafirkan dengan mengutip Al Ghazali, Ibnu Taymiah, Said Qutub, Hasan Al Banna, Nashiruddin Albani dan seterusnya.
Singkatnya, sejauh yang saya cermati di berbagai forum online, mereka tidak konsisten. Tidak punya mindset yang mendasar. Dalam bahasa Filsafat, mereka cacat epistemologis.
Kenapa?
Karena mereka masuk gelanggang diskusi bukan untuk sebuah petualangan, dengan semangat mencari pemahaman yang lebih tajam dan meyakinkan. Tapi mereka membawa semangat tempur untuk mencari kemenangan. Paling tidak mencari pengakuan. Pengakuan bahwa Islam, Muhammad dan Alquran memang benar. Inilah sikap apologetis. Sikap pembenaran.
Dan mereka seperti penderita bisul yang meraung ketika Islam menjadi sorotan kritis.
Padahal, jika mereka membaca sejarah, justru peradaban Islam di gelanggang diskurus agama pesat berkembang ketika Islam bersentuhan dengan kebudayaan lain, dengan pemikiran lain. Bahkan ketika menghadapi kritik dari pihak lain, seperti yang terjadi pada kaum Mutakallimun semisal Mu’tazillah dan Asyariyyah yang terkenal rasional dan cerdas dalam diskusi soal tauhid. Mereka sengaja mendalami ilmu manthiq (logika) demi untuk menghadapi serangan pihak lain yang kritis dan tidak bisa dibalas dengan hanya mengutip ayat-ayat Alquran, tapi perlu diimbangi dengan penalaran yang menyakinkan.
Lalu apa yang terjadi kemudian?
Siapapun yang melacak sejarah Islam, terutama berkenaan soal Tauhid dan Filsafat Islam, nyaris tidak bisa mengelak dari membaca sejarah Mu’tazillah dan Asyariyyah. Apalagi mengelak dari Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Al Ghazali. Dan itu menjadi inventaris kebudayaan dalam sejarah Islam, yang selalu dibanggakan umat Islam hingga hari ini.
Nah, bukankah sikap mereka itu sangat seksi?
Menggelitik kesadaran bahwa beragama, terutama dalam konteks tulisan ini yaitu ketika diskusi agama, tidak melulu hanya main kutip ayat Alquran, atau bernostalgia mencari alibi kesana-kemari? Apalagi dengan mengamuk histeris?
Bukankah menjadi pencerah atas sebuah konflik wacana itu jauh lebih nikmat ketimbang menjadi seorang pembela dengan cara membabi buta?
Tapi perlu saya garisbawahi.
Semua ini adalah hasil pengamatan saya pribadi.
Saya pikir anda tidak perlu marah-marah,
karena saya tidak akan mengancam anda berdosa jika anda tidak setuju.
So, apa yang anda pikirkan?
Subscribe to:
Comments (Atom)